Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan adanya praktik pelanggaran dalam penanganan napi Lapas Narkoba Yogyakarta. Kesimpulan tersebut merupakan hasil investigasi yang dilakukan lembaga itu bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM yang membutuhkan waktu hingga empat bulan untuk membuka tabir penyiksaan ini.
“Kita menemukan berbagai pelanggaran yang bertentangan dengan Konvensi Anti-Penyiksaan, Perendahan Martabat Manusia dan Penghukuman Tidak Manusiawi,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam laporannya kepada publik, di Jakarta, Senin (7/3).
Secara rinci, lanjutnya, lapas seharusnya mengadopsi sejumah instrumen hukum, yaitu antara lain UU 39/1999 tentang HAM, Pasal 1 dan Pasal 16 Konvensi Anti-Penyiksaan, UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan, Nelson Mandela Rules, dan sejumlah Peraturan Menteri Hukum dan HAM.
“Standar ini banyak sekali dilanggar dalam bentuk kekerasan, perendahan martabat, pelecehan seksual dan lain lain. Walaupu tujuannya katanya untuk mendisiplinkan. Tetapi, kan mendisiplinkan adalah satu hal. Kekerasan, perendahan martabat, itu tidak bisa ditoleransi,” lanjut Taufan.
Dalam laporannya, Komnas HAM menemukan sejumlah fakta yang secara umum membuktikan adanya tindak penyiksaan, perendahan martabat dan sejenisnya. Kondisi lapas sendiri mendukung tindakan itu terjadi. Komnas HAM membagi tiga periode kondisi, yaitu masa sebelum pertengahan 2020, pertengahan 2020 dan pasca 2020. Dalam periode itu terjadi pergantian kepala lapas yang memunculkan perbedaan kebijakan dalam penanganan napi.
BACA JUGA: Dugaan Penyiksaan di Balik Tembok Lapas Narkotika Yogya
Detil Tindak Penyiksaan
Wahyu Pratama Tamba dari Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM menyebut kunci ruang tahanan yang tidak diletakkan di rumah dinas kepala lapas juga mendukung situasi ini terjadi. Komnas HAM juga mencatat dengan detil mengenai tindakan penyiksaan, kekerasan dan perlakuan buruk merendahkan martabat yang dilakukan petugas.
“Terdapat sembilan tindakan penyiksaan kekerasan fisik, di antaranya pemukulan, baik menggunakan tangan kosong maupun menggunakan alat seperti selang, kabel, alat kelamin sapi atau kayu, pencambukan menggunakan pecut dan penggaris, ditendang dan diinjak-injak dengan menggunakan sepatu PDL (pakaian dinas lapangan -red), dan lain-lain,” papar Tama.
Selain itu, juga terdapat delapan tindakan perlakuan buruk merendahkan martabat. Di antaranya adalah diminta memakan muntahan makanan, diminta meminum air seni dan mencuci muka dengan air seni, pencukuran atau penggundulan rambut bahkan dalam posisi telanjang, dan lain sebagainya.
BACA JUGA: Kelompok Sipil Dorong "Pendekatan Humanis" untuk Pengguna NarkobaTerkait waktu penyiksaan, Komnas HAM mencatat hal itu terjadi saat napi baru masuk lapas, pada masa pengenalan lingkungan dan ketika napi melakukan pelanggaran.
Terdapat minimal tiga belas alat yang digunakan dalam penyiksaan, diantaranya selang, kayu, kabel, buku apel, tangan kosong, sepatu PDL, air garam, air sabun, pecut sapi, timun dan sambal, sandal, serta barang-barang yang dibawa tahanan baru, tambah Tama.
Para sipir juga melakuan penyiksaan setidaknya di enam belas lokasi di dalam komplek Lapas Narkotika Yogyakarta. Sedangkan terkait konteks, menurut Komnas HAM pada petugas melakukan kekerasan dengan alasan pembinaan dan pendisiplinan, serta menurunkan mental napi.
Selama investigasi, Komnas HAM menemukan enam napi dalam kondisi luka, seperti luka kering, luka bernanah di punggung dan lengan, luka keloid di punggung dan luka membusuk di lengan. Penyiksaan juga diberikan kepada tahanan dalam status titipan. Sedangkan kepada residivis, sipir memberi tanda dengan menuliskan huruf R di jidat yang bersangkutan.
Rekomendasi Komnas HAM
Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Endang Sri Melani, membacakan sejumlah rekomendasi kepada Kemenkumhan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Segera melakukan pemeriksaan kepada siapapun yang melakukan, maupun mengetahui tindakan penyiksaan yang terjadi, namun tidak mengambil langkah yang efektif untuk melakukan pencegahan,” kata Endang.
Mereka yang pantas diperiksa antara lain petugas sipir lapas, penjaga pintu utama, eks kalapas maupun eks Kepala KPLP periode 2020, dan sejumlah pihak lain.
“Jika ditemukan pelanggaran, proses penegakan hukum menjadi penting untuk segera dilakukan,” tambahnya.
Kemenkumhan juga diharapkan melakukan segala upaya untuk memastikan tidak ada lagi peredaran narkotika, telepon genggam, pungutan liar dan pemerasan di lingkungan Lapas. Namun, upaya itu tetap harus dijalankan dengan menghormati HAM, dan tidak menggunakan kewenangan secara berlebihan.
Lapas juga disarankan memiliki peralatan, seperti Xray untuk mendeteksi penyelundupan barang, mulai dari uang, HP, narkotika dan kartu telepon. Pemasangan kamera CCTV di setiap titik dinilai juga penting, tanpa harus melanggar hak pribadi napi.
Sementara petugas lapas disarankan menjalani pendidikan terkait HAM.
“Penting untuk segera melakukan monitoring dan evaluasi secara terus-menerus agar pembinaan pemasyarakatan dan pemberantasan narkotika maksimal. Serta tidak terjadi lagi tindakan penyiksaan,” urai Endang.
Sedangkan bagi napi yang menjadi korban, Kemenkumhan harus melakukan upaya pemulihan fisik maupun psikologis, baik untuk mereka yang mengalami trauma psikis dan luka-luka fisik. [ns/ah]