Sejak dibentuk pada Oktober 1998, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah berupaya keras menangani dan mencegah beragam kasus kekerasan terhadap perempuan. Namun dalam kurun waktu 19 tahun sejak lembaga negara ini dibentuk, kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi dan memprihatinkan.
Dalam acara konsultasi publik soal laporan tahunan Komnas Perempuan selama 2016 di kantornya, Rabu (8/2) , Ketua Komnas Perempuan Azriana menjelaskan lembaganya menemukan bukti adanya sejumlah upaya untuk membatasi hak berekspresi kaum ibu korban pelanggaran hak asasi manusia pada 1965. Ini terkait dengan stigma masih melekat pada mereka.
Azriana menambahkan hal yang paling mengejutkan sepanjang tahun lalu adalah sejumlah kasus pemerkosaan yang diakhiri pembunuhan dan pelakunya berkelompok.
"Kita marah, semua marah saat itu tapi kita lupa pemerkosaan berkelompok adalah sesuatu yang berulang. Kenapa berulang? Mungkin selama ini tidak ditangani secara baik sehingga kemudian pelakunya mendapat impunitas, korban terbiarkan tanpa pemulihan dan tindakan itu menjadi sebuah pembenaran untuk dilakukan berulang," ujarnya.
Azriana mengingatkan terkait soal kasus pemerkosaan massal terhadap 85 perempuan dari etnis Tionghoa saat kerusuhan Mei 1998. Dia menekankan pemerintah sampai saat ini menyangkal tragedi itu pernah ada.
Azriana meminta pemerintah mulai memperhatikan dan mempelajari benang merah yang menghubungkan antara satu perkosaan berkelompok dalam satu masa dengan masa lainnya, dan menemukan penanganan komperehensif untuk menyelesaikannya.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam tanggapannya terhadap laporan tahunan Komnas Perempuan tersebut, Nyimas Aliah, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus di Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, membenarkan kasus pemerkosaan berkelompok memang meledak selama tahun 2016. Dia mencontohkan kasus YY di Bengkulu, lalu diikuti oleh kasus-kasus serupa lainnya, seperti di Lampung dan Manado.
Nyimas menambahkan untuk menanggapi fenomena itu, Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan sosialisasi besar-besaran ke sejumlah daerah yang memiliki catatan kasus kekerasan seksual tinggi. Selain itu, Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak juga memberikan pelatihan kepada sekitar delapan ribu aparat penegak hukum agar memiliki visi dan misi seragam tentang bagaimana menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sehubungan dengan perlindungan perempuan dan anak di daerah konflik, menurut Nyimas, pemerintah telah membentuk kelompok kerja dan rencana daerah di sepuluh provinsi dengan tingkat kerawanan konflik tinggi, seperti Lampung, Kalimantan barat, Aceh, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. Untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, tambah Nyimas, kementeriannya telah memberlakukan sistem e-kekerasan.
"Jadi melalui e-kekerasan ini dapat langsung daerah melaporkan kasus-kasus kekerasan (terhadap perempuan) yang terjadi, baik itu pelapor atau korban langsung. Jadi selama ini kita menunggu laporan setiap enam bulan dari provinsi yang disampaikan dari kabupaten, sekarang kita bisa melihat langsung setiap hari data kekerasan," ujarnya.
Nyimas menilai makin banyak pemerintah daerah berkonsultasi dengan Kementerian dalam proses penyusunan kebijakan maka akan sangat baik. Di samping itu, kementerian sudah membentuk satgas PPA dan tahun lalu sudah seribu dilantik namun belum merata.
Selama 2016, menurut Azriana, Komnas Perempuan memprioritas pada program pengembangan sistem dan mekanisme memudahkan perempuan korban kekerasan mengakses hak-haknya, mendorong lahirnya peraturan di tingkat nasional dan daerah yang melindungi hak asasi perempuan, peningkatan peran aktif masyarakat dalam memantau, mencegah, dan menangani kasus-kasus kekerasan atas perempuan, serta peningkatan dukungan negara terhadap pelaksanaan mandat dan peran strategis Komnas Perempuan.