Dalam jumpa pers di kantornya, Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menjelaskan praktek hukuman mati di seluruh dunia sudah mulai ditinggalkan. Saat ini 140 negara sudah menghapus hukuman mati, sedangkan 65 negara lainnya, termasuk Indonesia, masih menerapkan.
Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri, tambah Yuniyanti, terdapat 177 warga Indonesia/pekerja migran Indonesia di luar negeri yang terancam hukuman mati, terdiri dari 77 perempuan dan seratus lelaki. Mereka tersebar di enam negara, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, Tiongkok, Singapura, dan Laos.
Yuniyanti menambahkan Komnas Perempuan sebagai salah satu lembaga hak asasi manusia berposisi menentang hukuman mati.
"Pertama-tama karena bertentangan dengan hak asasi manusia, baik dalam standar HAM internasional dan konstitusi Indonesia, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Kedua, hukuman mati bertentangan dengan tujuan penghukuman, yaitu untuk mencegah kejahatan dan menjaga ketertiban umum. Ketiga, hukuman mati tidak akan mencapai keadilan. Komnas perempuan percaya prasyarat mencapai keadilan adalah dengan kehidupan," ungkapnya.
Selanjutnya menurut Yuniyanti, sebagai bentuk konkret upaya Komnas Perempuan menghapus hukuman mati, dua tahun terakhir Komnas Perempuan memantau dampak hukuman mati terhadap perempuan pekerja migran dan keluarganya. Sebanyak 13 kasus perempuan pekerja migran menjadi terpidana mati dan keluarganya menjadi narasumber dalam pemantauan ini.
Yuniyanti mengatakan, dari fakta-fakta ditemukan dalam pemantauan ini, Komnas Perempuan menyimpulkan sejumlah hal. Kelas dan identitas perempuan pekerja migran berada di lapis paling bawah dan lemah membuat mereka rentan atas hukuman mati.
Perempuan pekerja migran mengalami kekerasan gender yang berakhir dengan bekerja di sektor rumah tangga penuh kejahatan tertutup dan tidak terjangkau perlindungan negara.
Perempuan pekerja migran terpidana mati adalah korban kecerobohan negara menempatkan mereka di negara-negara berisiko tinggi mengancam nyawa, karena minimnya perlindungan dan kesadaran hak asasi di negara tujuan. Selain itu, regulasi dan kebijakan perlindungan pekerja migran di dalam negeri buruk.
"Perempuan pekerja migran terpidana mati melakukan tindak pidana melakukan pembelaan diri dari serangan seksual. Mereka melakukan agresi karena situasi represif dan eksploitati di luar batas dan daya kendalinya. Mereka juga korban dari situasi kerja di ranah domestik bercorak seperti tahanan, di mana penyiksaan, pencerabutan kebebasan dan isolasi terjadi," imbuh Yuniyanti.
Sementara Sri Nurherwati, Ketua Gugus Kerja Pekerja Migran Komnas Perempuan, mengatakan berdasarkan beberapa kesimpulan tersebut Komnas Perempuan meminta pemerintah mempertimbangkan kembali pelaksanaan hukuman mati dengan moratorium dan menyusun peta jalan penghapusan hukuman mati di Indonesia.
"Membuat dan memperbaiki perjanjian dengan negara tujuan yang memuat klausul-klausul berkaitan dengan perlindungan pekerja migran yang berhadapan dengan hukuman mati atau hukuman berat lainnya, yaitu memastikan adanya notifikasi saat pekerja migran berhadapan dengan hukum agar tertangani dengan cepat, pendampingan sejak awal proses di kepolisian, dan pemantauan saat masa kerja akan berhenti," ujar Sri.
Sri mengatakan perjanjian bilateral dengan negara tujuan juga harus memuat klausul mengenai mekanisme pengaduan kasus dan penyelesaian perselisihan kerja. Klaussul lainnya adalah soal peningkatan kualitas pendataan pekerja migran, di mana dan siapa majikan mereka, serta membuka akses untuk memantau kondisi pekerja migran di tempat mereka bekerja.
Komnas perempuan meminta pemerintah memastikan perempuan pekerja migran mendapat perlakuan adil bila tersangkut kasus hukum. [fw/em]