Meskipun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) – yang mencakup segala aturan pencegahan, penanganan, pelindungan dan pemulihan hak korban – sudah diberlakukan sejak 2022, tetapi penerapannya seringkali menghadapi tantangan yang tidak kecil, terutama di Aceh.
Sepanjang 2023, sejumlah peneliti yang tergabung di 12 organisasi pemantau hak-hak perempuan Aceh, mengkaji pelaksaan UU TPKS tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa pelaksanaan UU No.12 Tahun 2022 itu terbukti sama sekali tidak bertentangan dengan syariat Islam dan hukum adat.
Komisoner Komnas Perempuan Imam Nahe'i menjelaskan UU TPKS terbukti sama sekali tidak bertentangan dengan syariat Islam atau hukum adat yang ada di Aceh (Qanun Hukum Jinayat).
"Komnas Perempuan meyakini pelaksanaan UU TPKS di Aceh sama sekali tidak bertentangan dengan penerapan syariat Islam. Sebaliknya, justru sejalan dengan tujuan syariat Islam, yaitu memberikan perlindungan dan mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat Aceh, termasuk perempuan," katanya.
Ini dikarenakan pasal-pasal yang ada dalam UU TPKS itu telah dirumuskan secara hati-hati oleh seluruh pemangku kepentingan, antara lain para ulama dan pengelola organisasi Islam besar, seperti Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Menurut Imam, semangat untuk memberikan perlindungan, mewujudkan keadilan, dan memberikan pemulihan bagi perempuan setelah mengalami kekerasan seksual merupakan ruh sekaligus semangat dari UU TPKS, yang bertujuan untuk memperkuat hak otonomi khusus di Aceh, bukan untuk melemahkannya.
Nahe’i melihat kehadiran UU TPKS sebagai sebuah “payung besar” untuk melindungi kaum perempuan di seluruh Indonesia, khususnya di Aceh, tanpa terkecuali.
Namun, ia melihat masih ada kendala yang harus dibenahi, antara lain keberadaan dua aturan hukum – UU TPKS dan Qanun Hukum Jinayat – yang justru kerap menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual, dan berujung pada pembatasan akses untuk memperoleh keadilan, atau bahkan berpotensi mengkriminalisasi perempuan.
Kekerasan terhadap Perempuan Paling Tinggi di Aceh
Suraya Kamaruzzaman dari jaringan tim pemantau pelaksanaan Undang-undang TPKS di Aceh, mengatakan Qanun Jinayat mengatur dua bentuk tindakan kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Khusus pada anak, kasus yang kerap membelenggu mereka adalah sodomi, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan hubungan sedarah. Angka kekerasan seksual terhadap anak di Aceh meningkat dari 276 perkara pada 2019, menjadi 323 kasus pada 2023.
Suraya mengatakan badan yang dipimpinnya telah melakukan pemantauan terhadap 17 kasus kekerasan seksual, di mana lima korban adalah perempuan dan 12 lainnya masih anak di bawah umur.
BACA JUGA: Aceh Wajibkan Laki-Laki dan Perempuan Terpisah di Kendaraan Umum“Kajian kami menunjukkan ada lima perempuan dari 12 lainnya merupakan anak di bawah usia 18 tahun. Sementara 17 kasus yang disebutkan tadi mencakup kasus pemerkosaan, pelecehan dan hubungan sedarah," katanya.
Pelakunya, tambah Suraya, adalah ayah kandung, abang tiri, paman, pacar, orang lain yang dikenal karena tinggal dalam lingkungan yang sama, dan orang tidak dikenal. Jumlah pelaku lebih dari angka korban karena dalam dua kasus pelakunya lebih dari satu orang. Tujuh pelaku dari 17 kasus itu tidak ditahan selama proses penyidikan, dan hanya tiga korban yang mendapatkan informasi dari jaksa terkait hak restitusi.
Your browser doesn’t support HTML5
Kajian itu juga mendapati bahwa 40 persen jaksa penuntut umum yang diwawancarai mengatakan mengalami kesulitan membangun dakwaan terhadap perkara kekerasan seksual yang pelaku dan korban sama-sama anak karena biasanya dianggap suka sama suka.
"Tingkat keragaman jenis kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyaralat tidak mampu dijawab secara baik dengan keberadaan qanun jinayat yang hanya mengatur tentang pelecehan seksual dan pemerkosaan," katanya.
"Harusnya untuk memberikan akses keadilan bagi korban, penyidik polisi dapat mengarahkan kasus tersebut ke pengadilan negeri. namun ini jarang terjadi karena kasus-kasus tersebut seolah dipaksakan masuk dalam kewenangan perkara yang diselesaikan penggunaan Qanun Hukum Jinayat," imbuh Suraya.
Pemda Ambil Peran Lebih Besar
Dalam diskusi tersebut, pelaksana tugas Deputi Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Sugeng Purnomo, mengatakan temuan adanya aparat penegak hukum belum banyak memperoleh pemahaman tentang Undang-Undang TPKS menjadi perhatian dan kewajiban, baik pemerintah pusat maupun daerah.
Ia berkilah kekeliruan pemahaman soal UU TPKS terjadi karena belum ada peraturan pemerintah (PP). Padahal PP tidak terkait dengan penerapan UU TPKS bila ada perbuatan-perbuatan yang dianggap oleh beleid ini sudah memenuhi unsur dan bisa diproses serta diancam dengan hukuman pidana.
BACA JUGA: Kerap Rugikan Korban Pemerkosaan, Qanun Jinayah di Aceh Diminta untuk DirevisiSugeng Purnomo juga menyerukan pemerintah daerah untuk mengambil peran lebih besar untuk mensosialisasikan UU TPKS dan tidak menunggu pemerintah pusat saja.
"Sebenarnya ada cara yang bisa digunakan dengan keterbatasan peserta yang mengikuti pelatihan pemahaman dan pendalaman tentang Undang-undang TPKS itu, kemudian di daerah dia menyampaikan hasil diklat yang diikuti itu kepada peserta yang lain, kepada kawan-kawannya," tuturnya.
Jika ada kasus kekerasan seksual di Aceh yang tidak diatur dalam Qanun Jinayat, maka sedianya langsung menggunakan UU TPKS atau undang-undang nasional terkait saat memulai proses hukum. Menurut Sugeng Pramono, pemahaman ini penting agar tidak lagi ada anggapan bahwa tindak pidana tidak akan diproses jika tidak diatur dalam Qanun. [fw/em]