Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe'i menegaskan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama di Indonesia. Karena itu, Imam meminta Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak menolak secara keseluruhan Rancangan Undang-undang tersebut. Menurutnya, sejumlah keberatan Fraksi PKS dan lembaga lain bisa dibahas dan disampaikan ke DPR. Ia berharap RUU tersebut segera disahkan agar dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual, terutama kepada perempuan.
"Saya senang sekali PKS sangat kencang memberikan keseimbangan. Bagi saya ini sangat penting, memang kita bertarung dalam peradaban ini. Jadi memang ada kelompok yang HAM mainstream, pokoknya Hak Asasi Manusia. Ya tidak juga, dalam banyak hal saya juga tidak sepakat dengan kelompok ini. Di sisi lain kita punya kearifan adat, agama dan seterusnya, itu perlu kita gali bersama-sama," jelas Imam saat berdiskusi di Ruang Fraksi PKS di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (13/2/2018).
Imam Nahe'i menjelaskan lembaganya telah melibatkan ulama dari berbagai lembaga seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia dalam pembahasan Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Hal tersebut untuk memastikan Naskah Akademik yang disusun Komnas Perempuan tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.
BACA JUGA: Kelompok Pesantren Dukung RUU Penghapusan Kekerasan SeksualFraksi PKS telah memutuskan menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurut Anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah, RUU tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan norma-norma agama.
Atas dasar tersebut, Fraksi PKS mengajukan sejumlah poin perubahan dalam RUU tersebut. Salah satunya yaitu pergantian nomenklatur "kekerasan seksual" menjadi "kejahatan seksual". Ia beralasan istilah kejahatan seksual menggambarkan unsur kesalahan dan derajat tindak pidana yang tegas. Sehingga dapat mempermudah dalam perumusan delik dan pemenuhan unsur-unsur pidana dalam pembuktian.
"Sejak awal Fraksi PKS melihat ada hal yang masih ambigu, menimbulkan kekaburan dan keraguan. Termasuk di antaranya adalah unsur hasrat seksual yang dimasukkan sebagai bagian definisi, yang dapat berimplikasi pada sikap permisif terhadap perilaku seksual menyimpang. Juga karena menggunakan istilah 'relasi kuasa' yang dapat disalah-pahami dengan relasi suami-istri," jelas Ledia.
Ledia menambahkan pihaknya juga mengusulkan untuk memasukkan klausul langkah-langkah preventif terhadap kejahatan seksual dan menambahkan nilai-nilai "Ketuhanan Yang Maha Esa" untuk menjadi asas dalam RUU tersebut.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Indonesia Topo Santoso berpendapat perdebatan antara nomenklatur "Kekerasan Seksual" dengan "Kejahatan Seksual" adalah hal lumrah. Namun, ia menekankan agar UU Penghapusan Kekerasan Seksual nantinya dapat dirumuskan dengan tegas, pasti dan jelas. Sehingga tidak ada kebingungan di aparat penegak hukum serta tumpang tindih aturan ketika UU tersebut diberlakukan.
"Ini memang harus dipastikan bahwa UU ini setelah ada masukan dan pembahasan dan lainnya, harus dipastikan dia berjalan secara sosiologis. Dapat diterima oleh masyarakat luas. Dan ini memang perlu pengujian dan pembahasan panjang lebar," ujar Topo Santoso.
Your browser doesn’t support HTML5
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah diusulkan dalam Prolegnas sejak 2014. Namun, RUU ini baru masuk dalam daftar Penambahan Prolegnas 2015-2019 pada tahun 2016 sebagai usulan DPR. Namun, selama 2 tahun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengendap di DPR dan tidak ada titik terang kemajuan dari pembahasan. Padahal banyak sekali korban kekerasan seksual yang membutuhkan perlindungan daripada RUU tersebut. Terbaru, Anggota Komisi VIII DPR RI Iqbal Romzi menjelaskan pembahasan RUU ini akan dilanjutkan kembali setelah pagelaran pemilihan umum 2019. [Ab/em]