Untuk memutus rantai penularan, ternak yang terlihat sakit atau telah sakit harus segera dimusnahkan. Pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri dalam mengawasi situasi tersebut. Untuk itulah dibutuhkan kerja sama dari peternak. Guru besar Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof R Wasito menyebut, kompensasi menjadi kunci agar peternak mau melapor dan menyerahkan ternaknya.
“Kompensasi ini nomor satu. Kenapa nomor satu? Petani peternak itu akan lebih kooperatif, sapi sakit atau dia menduga sapi sakit, langsung diserahkan pada petugas kesehatan hewan. Tetapi kalau tidak ada kompensasi, kita lihat itu, sapi sakit diam-diam dijual. Mati karena PMK, dipotong-potong, dijual, karena tidak ada kompensasi,” kata Wasito dalam diskusi terkait PMK yang diselenggarakan Digital Extension Society for Agriculture Application (Desa Apps), UGM, Sabtu (21/5).
Kerja sama dari peternak sangat dibutuhkan jika Indonesia ingin segera mengatasi wabah PMK. Tanpa kompensasi, tentu saja peternak tidak akan mau bekerja sama. Kompensasi mampu menjaga kesejahteraan peternak, karena hewan yang merupakan harta mereka, tidak hilang begitu saja. Di sisi lain, pemusnahan hewan oleh pemerintah menggunakan insinerator, setidaknya akan mengurangi penyebarluasan PMK.
Meski banyak pejabat mengatakan penyebaran PMK terkendali, Wasito mengajak semua pihak melihat kenyataan yang terjadi. Berawal dari Gresik, Jawa Timur, penyakit ini sudah menyerang ternak di berbagai provinsi saat ini.
Panduan Penanganan Keliru
Wasito mengkritisi panduan penanganan PMK yang diterbitkan oleh pemerintah dan asosiasi peternak. Selain itu, pemberian obat dan vitamin bagi ternak yang sakit dinilainya hanya membuang-buang anggaran.
“Tidak ada pengobatan spesifik untuk PMK. Itu leaflet-leaflet, flyer-flyer yang dibuat oleh asosiasi, oleh Kementan atau siapa saja, tolong jangan sampai terjadi kesalahpahaman pada masyarakat. Kasihan masyarakat,” tandasnya.
Pemberian antibiotik yang digembar-gemborkan pemerintah saat ini hanya bisa mematikan bakteri sekunder. Antibiotik tidak mematikan virus, padahal PMK disebabkan oleh virus. Di tingkat lanjut, kalaupun ternak sembuh dari PMK, dia tetap bisa menyebarkan karena virus bertahan pada tubuhnya.
BACA JUGA: Pakar: Pemerintah Perlu Tetapkan Status Darurat terhadap Wabah PMK pada Hewan Ternak“Akibatnya apa? Sapi yang tampak sehat, akan menjadi carrier, pembawa virus PMK,” tegasnya.
“Kalau di Inggris, wajib dipotong. Masukkan di insinerator untuk hewan yang sakit atau untuk hewan yang kontak dengan yang sakit. Kemudian diberi ganti rugi dana tanggap darurat,” tambah Wasito.
Sembuh Tetap Menjadi Carrier
Berbicara dalam diskusi yang sama, peneliti di Pusat Riset Veteriner, Harimurti Nuradji Ph.D mengatakan ternak yang terinfensi PMK memang bisa sembuh, tetapi virus tetap bertahan dalam tubuhnya.
“Hewan yang peka, seperti sapi itu apabila terinfeksi nanti akan mengalami recovery sekitar dua minggu. Tetapi recovery itu nanti akan ada yang sembuh dan ada yang persistently infected atau carrier. Berapa lama? Untuk sapi adalah 2,5 sampai 3,5 tahun. Jadi ini akan cukup lama menjadi carrier,” ujar dia.
Your browser doesn’t support HTML5
Sapi yang sembuh dari PMK, sebenarnya masih berbahaya bagi ternak lain karena dia justru berpotensi menularkan virus ini. Potensi untuk menjadi pembawa virus sangat lama, yaitu bisa lebih dari 2,5 tahun.
Harimurti memastikan kunci menanggulangi PMK adalah memastikan ternak carrier itu tidak berkumpul dengan ternak sehat. Di periode menjelang hari raya Iduladha seperti saat ini, upaya tersebut menjadi tantangan tersendiri.
“Walaupun laporan terkait penularan atau sirkulasi virus terkait persistently infected ini rendah, tetapi ini masih ada potensi, sehingga kuncinya saat ini adalah pada saat permintaan sapi itu banyak menjelang Iduladha, kuncinya adalah kontrol pergerakan,” katanya.
Sebaiknya, sapi yang berasal dari daerah wabah tidak masuk ke kawasan yang masih bebas PMK. Langkah pengawasan tidak cukup pada sapi, tetapi juga kambing, kerbau, dan domba.
Deteksi dini, lanjut Harimurti, adalah upaya yang harus dilakukan. Jika pemerintah mampu mendeteksi hewan yang terinfeksi sejak awal, penyebaran tidak akan terjadi dengan cepat.
BACA JUGA: Milenial: di Ladang Gemar 'Selfie', Tapi Ogah Jadi Petani“Pemerintah dan semua pihak harus bahu-membahu mencegah. Hewan yang teinfeksi atau carrier itu tertangani dan terdeteksi lebih awal, sehinga hewan bisa ditangani lebih baik,” tambah Harimurti.
Pengobatan Pilihan Kementan
Di sisi lain, meski para pakar menyebut pengobatan tidak efektif mencegah penularan PMK, Kementerian Pertanian justru fokus pada langkah ini. Bantuan obat, vaksinasi, Alat Pelindung Diri (APD) dan cairan disinfektan untuk penyemprotan kandang mereka kirimkan ke berbagai daerah.
"Kandangnya juga disemprot dengan disinfektan, kemudian batasi orang masuk kandang, jangan keluar masuk kandang. Jadi tidak usah khawatir dan panik karena bisa disembuhkan. Kita bisa melihat sendiri di lapangan, semuanya sembuh dan sehat,” kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, Nasrullah di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Jumat (20/5).
Dalam pernyataan resmi kementerian, Nasrullah juga mengatakan kematian ternak akibat PMK ini presentasenya kecil, dan biasanya hanya terjadi pada ternak muda.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo juga menyinggung soal bantuan obat-obatan.
“Proses yang saat ini terus berjalan antara lain melakukan intervensi obat-obatan seperti vitamin, antibiotik dan termasuk obat herbal yang biasa dibuat dengan kearifan lokal daerah tertentu. Alhamdulillah yang dipakai ternyata penyembuhannya sangat cepat,” kata Syahrul di Sumedang, Jawa Barat (18/5), sebagaimana dikutip dari rilis kementerian. [ns/ah]