Komunikasi dan Penegakan Aturan Selama Pandemi Menuai Kritik

  • Nurhadi Sucahyo

Foto udara menunjukkan suasana jalan-jalan di Jakarta yang lengang di tengah penerapan PPKM untuk mencegah perebakan COVID-19 (foto: dok).

Meski sudah berlangsung lebih dari satu tahun, pemerintah masih menghadapi tantangan komunikasi dan penegakan aturan dalam penanganan pandemi. Padahal, keduanya dinilai memiliki peran strategis untuk melawan pandemi itu sendiri.

Salah satu masalah komunikasi yang belum selesai adalah soal apa yang sebenarnya diinginkan pemerintah, terkait aktivitas rakyatnya. Di satu sisi, masyarakat diminta untuk tinggal di rumah, jaga jarak, dan tidak berkerumun, tetapi pasar dan pusat perbelanjaan tetap buka, di masa sebelum PPKM Darurat lalu.

Pengamat kebijakan publik Yanuar Nugroho PhD. mempertanyakan hal itu dalam diskusi evaluasi PPKM Darurat yang digelar LaporCOVID-19, Kamis (22/7).

Pengamat kebijakan publik, Yanuar Nugroho Ph.D. (foto: courtesy).

“Pemerintah membuat kebijakan itu satu hal. Hal yang lain adalah, bagaimana kebijakan ini dikomunikasikan, baik kepada publik agar publik mengerti pemerintah maunya apa, dan yang kedua kepada birokrasi, agar birokrasi juga bisa melaksanakan kebijakan itu,” kata Yanuar.

Dia juga mengatakan, dalam krisis bencana atau pandemi seperti sekarang, yang paling penting dari komunikasi kebijakan pemerintah, adalah bagaimana publik bisa memiliki persepsi resiko yang memadai.

“Artinya publik mengerti, risiko apa yang dihadapi. Karena pada akhirnya, yang akan menghadapi dia, yang akan tertular dia, yang akan sakit dia. Karena itu komunikasi kebijakan pemerintah di masa krisis, harus bisa membangun persepsi publik atas risiko yang dihadapi itu,” tambahnya.

Kuncinya adalah komunikasi kebijakan pemerintah yang tidak ambigu, tidak mendua dan tidak membingungkan. Setiap kebijakan harus memiliki pesan yang tunggal dan jelas.

BACA JUGA: Ini Alasan Pemerintah Ganti Istilah PPKM Darurat Jadi Per Level

Yanuar mengaku tidak mau meributkan pilihan pemerintah yang berganti-ganti istilah dalam penanganan wabah. Indonesia pernah memiliki PSBB dengan berbagai variasi, PPKM juga dengan berbagai bentuk, sampai ke format terakhir yaitu PPKM dengan beberapa tingkat atau level.

Apapun istilah yang digunakan pemerintah, kata Yanuar, pesannya harus tunggal. Pesan yang harus ditekankan adalah bahwa wabah ini gampang menular, karena itu urusan kesehatan dan keselamatan adalah prioritas nomor satu.

“Nomor dua, jangan ributkan istilah, yang penting naikkan tes, naikkan tracing, perkuat treatment, turunkan positivity rate, percepat vaksinasi. Kebijakan publik itu mesti jelas, lugas, tegas. Kalau saya begitu, dari kacamata kebijakan publik,” tandasnya.

Warga antre untuk menerima vaksinasi COVID-19 sementara terjadi lonjakan kasus positif di Sidoarjo, Jawa Timur (foto: dok).

Butuh Kejelasan Komando

Dalam diskusi lain, yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, persoalan komunikasi dan penegakan aturan juga dibicarakan. Salah satunya dibahas oleh Agus Samsudin, Ketua Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC).

Salah satu yang menimbulkan masalah komunikasi, kata Agus, adalah ketidakjelasan siapa yang memegang peran tertinggi dalam penanganan pandemi. Awal-awalnya BNPB memiliki peran dominan, setelah itu ada Komite Penanganan COVID-2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN). Saat ini, terutama terkait PPKM Darurat, komando pindah ke Menkomarves.

Agus Samsudin, Ketua Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC).

“Siapa orang nomor satu yang mengelola krisis ini? Sekarang kita tidak melihat itu. BNPB sudah enggak lagi, suaranya juga sudah tidak ada. Sekarang siapa yang bertugas sebenarnya. Pada saat krisis oksigen semua orang berbicara. Tetapi siapa yang benar-benar bertugas dalam masalah ini? Ini penting banget untuk dicatat semua orang,”ujar Agus, Rabu (21/7) malam.

Selain soal ketidakjelasan komandan utama yang mempengaruhi komunikasi pemerintah ke masyarakat, Agus juga materi komunikasi itu sendiri turut bermasalah. Dia mengajak seluruh pihak tidak terlalu peduli soal istilah yang dibuat, misalnya PPKM dan level yang menyertainya.

BACA JUGA: Jokowi Perpanjang PPKM Darurat Hingga 25 Juli

“Menurut saya, yang paling penting itu satu. Orang jangan pergi dulu sekarang, jangan ngumpul dulu. Tinggal di rumah. Sebenarnya bahasanya kan cuma itu saja. Jangan kemudian dibikin istilah-istilah baru yang sebenarnya secara esensi tidak esensial banget,” tambahnya.

Kondisi menjadi tidak cukup baik, karena di satu pihak adanya inkonsistensi pemerintah, dan di sisi seberangnya, kata Agus, ada kebebalan masyarakat. Mayoritas tidak mau belajar dari apa yang terjadi, tetapi baru mau berubah setelah COVID-19 berdampak pada dirinya sendiri.

Dasar Hukum Tak Jelas

Sementara Dekan Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Trisno Raharjo, mengupas tantangan penegakan aturan yang juga menjadi beban. Trisno mengkritisi pilihan Presiden Jokowi, yang sejak awal tidak menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan 2018. Padahal, Indonesia memiliki produk hukum ini, dan tentu saja dimaksudkan untuk diterapkan.

“Saya memastikan bahwa aturan-aturan kita itu kacau balau. Aturan-aturan tentang penanganan ini. Kita sudah punya Undang-Undang Karantina. Tetapi ketentuan yang berkenaan dengan bagaimana kita melakukan karantina kesehatan, apakah itu di rumah sakit, enggak ada sama sekali. Tidak pernah mau pemerintah kita,” ujar Trisno.

Dia menilai, keengganan pemerintah menerapkan UU tersebut, sama saja dengan menganggap produk hukum itu tidak ada.

Pemerintah, lanjut Trisno, juga memposisikan Undang-Undang Wabah tahun 1984. Dia menyatakan, pernah melakukan kajian dengan biaya dari UNDP bekerja sama dengan DPR terkait UU tersebut. Tim kajian jelas merekomendasikan perbaikan UU tersebut, tetapi tidak ada upaya sampai sekarang. Karena ketidakjelasan produk hukum dalam penanganan pandemi, penegakan aturan juga menjadi persoalan. Aparat penegak hukum menjadi tidak memahami, apa yang harus dilakukan jika terjadi pelanggaran.

Dengan dua UU yang ada, pemerintah sebenarnya bisa memilih. Dalam kaitannya dengan hukuman misalnya, UU Wabah menetapkan denda Rp 1 juta untuk sebuah pelanggaran, sementara UU Karantina Kesehatan menyebut angka Rp 5 juta. Melihat kondisi ekonomi yang sulit, Trisno merekomendasikan penggunaan UU Wabah, karena bahkan Rp 1 juta adalah jumlah yang besar bagi mayoritas masyarakat saat ini.

Your browser doesn’t support HTML5

Komunikasi dan Penegakan Aturan Selama Pandemi Menuai Kritik


Tidak adanya dasar hukum yang jelas, juga membuat penegakan aturan berbeda di negara ini. Trisno memberi contoh, pedagang di Tasikmalaya yang dikenai denda Rp 5 juta karena pelanggaran selama PPKM Darurat. Sementara di tempat lain, hukum serupa tidak ditegakkan.

“Di Yogya, saya tidak pernah mendengarkan, mereka yang mendapatkan sanksi sebagaimana yang muncul di Tasikmalaya itu,” tambahnya. [ns/em]