Protokol Kyoto akan kadaluwarsa beberapa minggu lagi, dan perjanjian penggantinya dibahas dalam konferensi iklim minggu ini di Doha, Qatar.
Delegasi dari 190 negara berkumpul di Doha guna mencapai kesepakatan baru dalam menghadapi pemanasan global, sementara Protokol Kyoto yang ditandatangani tahun 1997 akan kadaluwarsa akhir tahun ini.
Protokol tersebut menetapkan sejumlah sasaran mengikat bagi negara-negara maju untuk memangkas emisi gas rumah kaca rata-rata lima persen dari tingkat tahun 1990. Pada umumnya, sasaran tersebut gagal, menurut Dieter Helm, guru besarkebijakan energi pada Universitas Oxford.
Ia mengatakan, “Protokol Kyoto secara umum tidak membuat perubahan apapun terkait peningkatan emisi global. Pada tahun 1990 emisi meningkat sekitar dua ppm, kini emisi naik pada tingkat sekitar tiga ppm.”
Helm mengatakan, kelemahan utama Protokol Kyoto adalah karena hanya mencakup sebagian kecil dari total emisi dunia karena sebagian besar negara-negara Barat tidak lagi mengalami industrialisasi.
“Kita harus mengenakan pajak atas konsumsi karbon, termasuk impor karbon. Dengan demikian, kita harus mengeluarkan biaya untuk emisi karbon di Barat dan di seluruh dunia,” ujarnya lagi.
Meski emisi gas-gas berbahaya masih terus meningkat, Ruth Davis dari kelompok pelestarian alam Greenpeace mengatakan Protokol Kyoto tetap menjadi sarana yang penting.
“Berbagai prinsip yang ada didalam Protokol Kyoto sangat penting dalam membuat kesepakatan internasional yang berfungsi. Prinsip-prinsip itu terkait hal seperti penghitungan dan transparansi, sehingga sebuah negara dapat melihat apa yang dilakukan negara lain ketika menyatakan komitmennya,” paparnya.
Demonstran menyuarakan kemarahan mereka pada KTT iklim lalu di Durban tahun 2011 karena para delegasi gagal mencapai kesepakatan pasca Kyoto dan hanya berjanji akan mengesahkan perjanjian hukum baru sebelum 2015.
Ukuran rapat-rapat dalam KTT saja telah membuat tercapainya konsensus hampir mustahil, menurut Heike Schroeder dari Universitas East Anglia.
Ia mengatakan, “Negara-negara yang sangat kecil akan datang dengan tiga wakil. Somalia mengirim tiga wakil ke Kopenhagen, sementara Brazil mengirim hampir 600. Itu perbedaan yang sangat besar. Negara-negara kecil ini tidak secara nyata bisa menjadi bagian dari negosiasi yang berlangsung.”
Schroeder pesimistis KTT mendatang akan menghasilkan banyak hal. Dieter Helm dari Universitas Oxford juga memberi pandangan serupa.
“Berdasarkan laju pertumbuhan sekarang, pada tahun 2020 ukuran Tiongkok dan India akan tumbuh dua kali lipat. Akan ada 400 hingga 600 gigawatt batubara baru di dunia dan kita akan melihat emisi global pada tingkat lebih dari 400 ppm,” ujarnya.
Para ilmuwan mengatakan pemanasan global telah berdampak. Bank Dunia bulan ini memperingatkan bahwa suhu dunia akan lebih hangat tiga hingga empat derajat Celsius pada akhir abad ke-21. Cuaca ekstrim, kata mereka, akan menjadi kondisi yang normal.
Protokol tersebut menetapkan sejumlah sasaran mengikat bagi negara-negara maju untuk memangkas emisi gas rumah kaca rata-rata lima persen dari tingkat tahun 1990. Pada umumnya, sasaran tersebut gagal, menurut Dieter Helm, guru besarkebijakan energi pada Universitas Oxford.
Ia mengatakan, “Protokol Kyoto secara umum tidak membuat perubahan apapun terkait peningkatan emisi global. Pada tahun 1990 emisi meningkat sekitar dua ppm, kini emisi naik pada tingkat sekitar tiga ppm.”
Helm mengatakan, kelemahan utama Protokol Kyoto adalah karena hanya mencakup sebagian kecil dari total emisi dunia karena sebagian besar negara-negara Barat tidak lagi mengalami industrialisasi.
“Kita harus mengenakan pajak atas konsumsi karbon, termasuk impor karbon. Dengan demikian, kita harus mengeluarkan biaya untuk emisi karbon di Barat dan di seluruh dunia,” ujarnya lagi.
Meski emisi gas-gas berbahaya masih terus meningkat, Ruth Davis dari kelompok pelestarian alam Greenpeace mengatakan Protokol Kyoto tetap menjadi sarana yang penting.
“Berbagai prinsip yang ada didalam Protokol Kyoto sangat penting dalam membuat kesepakatan internasional yang berfungsi. Prinsip-prinsip itu terkait hal seperti penghitungan dan transparansi, sehingga sebuah negara dapat melihat apa yang dilakukan negara lain ketika menyatakan komitmennya,” paparnya.
Demonstran menyuarakan kemarahan mereka pada KTT iklim lalu di Durban tahun 2011 karena para delegasi gagal mencapai kesepakatan pasca Kyoto dan hanya berjanji akan mengesahkan perjanjian hukum baru sebelum 2015.
Ukuran rapat-rapat dalam KTT saja telah membuat tercapainya konsensus hampir mustahil, menurut Heike Schroeder dari Universitas East Anglia.
Ia mengatakan, “Negara-negara yang sangat kecil akan datang dengan tiga wakil. Somalia mengirim tiga wakil ke Kopenhagen, sementara Brazil mengirim hampir 600. Itu perbedaan yang sangat besar. Negara-negara kecil ini tidak secara nyata bisa menjadi bagian dari negosiasi yang berlangsung.”
Schroeder pesimistis KTT mendatang akan menghasilkan banyak hal. Dieter Helm dari Universitas Oxford juga memberi pandangan serupa.
“Berdasarkan laju pertumbuhan sekarang, pada tahun 2020 ukuran Tiongkok dan India akan tumbuh dua kali lipat. Akan ada 400 hingga 600 gigawatt batubara baru di dunia dan kita akan melihat emisi global pada tingkat lebih dari 400 ppm,” ujarnya.
Para ilmuwan mengatakan pemanasan global telah berdampak. Bank Dunia bulan ini memperingatkan bahwa suhu dunia akan lebih hangat tiga hingga empat derajat Celsius pada akhir abad ke-21. Cuaca ekstrim, kata mereka, akan menjadi kondisi yang normal.