Deklarasi Jakarta merumuskan sejumlah kesepakatan konkret seperti mengatasi kondisi penyebab penyelundupan dan perdagangan manusia.
Konferensi tentang pencari suaka yang diprakarsai oleh Indonesia dan Australia telah menghasilkan Deklarasi Jakarta berisi sejumlah langkah konkret untuk mengatasi masalah terkait pencarian suaka.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam keterangan persnya usai pertemuan, Selasa (20/8), mengatakan Deklarasi Jakarta merupakan langkah maju yang penting bagi penanganan pencari suaka karena berhasil merumuskan sejumlah kesepakatan seperti mengatasi kondisi yang menyebabkan terjadinya penyelundupan manusia dan perdagangan manusia.
Negara-negara peserta konferensi, kata Marty, telah berkomitmen untuk terus berkoordinasi dan melakukan upaya bersama yang mencakup upaya pencegahan, deteksi dini, perlindungan dan penindakan untuk menangani masalah pergerakan manusia ilegal di kawasan baik itu penyelundupan dan perdagangan manusia, serta pencari suaka.
“Langkah-langkah pencegahan, langkah-langkah deteksi dini, langkah-langkah perlindungan… Bentuk penanganan tersebut ada langkah-langkah konkret yang sudah kita pastikan akan kita lakukan misalnya mengatasi kondisi yang menyebabkan terjadinya penyelundupan manusia dan perdagangan manusia, kita berbicara masalah kebijakan visa, kita juga membicarakan tentang pemberian informasi negara-negara dan seterusnya. Kami kira langkah-langkah itu sudah sangat jelas,” ujarnya.
Marty menambahkan konferensi tersebut juga membahas terkait kebijakan visa dan pembagian informasi antar negara. Menurut Marty, 12 negara peserta konferensi berkomitmen untuk memperketat visa di negaranya masing-masing agar tidak disalahgunakan.
Dia juga menyatakan para peserta pertemuan ini juga akan mengkaji secara berkala apa yang telah dilakukan dalam pertemuan berikutnya.
“Ada komitmen dari negara-negara untuk memperketat masalah visa, untuk memastikan peraturan visa ini tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak penyelundup manusia, karena selama ini fasilitas visa on arrival telah disalahgunakan. Setiap negara akan mengambil langkah untuk memastikan itu tidak disalahgunakan,” ujarnya.
Konferensi di Jakarta ini merupakan lanjutan dari pertemuan Presiden Susilo Bambang dan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd di Istana Bogor pada 3 Juli lalu.
Konferensi khusus di kantor Kementerian Luar Negeri Indonesia tersebut dihadiri delegasi dari 12 negara asal, transit dan tujuan para pencari suaka, yakni Indonesia, Australia, Bangladesh, Kamboja, Malaysia, Filipina, Pakistan, Selandia Baru, Papua Nugini, Sri Lanka, Thailand dan Burma. Sayangnya, salah satu negara asal pencari suaka yang cukup besar, yaitu Iran tidak ikut hadir dalam pertemuan ini.
Menteri Imigrasi Australia Tony Burke mengatakan masalah penyelundupan manusia dan pencari suaka merupakan masalah bersama yang harus ditangani dan membutuhkan tanggung jawab bersama.
Deklarasi Jakarta, tambahnya, telah memberikan struktur dan kerangka kerja yang jelas bagaimana menghadapi masalah para pencari suaka dan manusia perahu yang telah disepakati sebagai masalah bersama di kawasan.
Menurutnya, dalam pertemuan itu juga dibahas soal kemungkinan pemulangan kembali para pencari suaka ke negara asalnya.
Dalam pertemuan internasional biasanya mekanisme pemulangan selalu secara sukarela, tapi dalam pertemuan tadi kita memahami kalau dalam kondisi tertentu, para pencari suaka memang harus dipulangkan ke negara asal jika tidak memenuhi klaim mereka sebagai pencari suaka,” ujar Burke.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam keterangan persnya usai pertemuan, Selasa (20/8), mengatakan Deklarasi Jakarta merupakan langkah maju yang penting bagi penanganan pencari suaka karena berhasil merumuskan sejumlah kesepakatan seperti mengatasi kondisi yang menyebabkan terjadinya penyelundupan manusia dan perdagangan manusia.
Negara-negara peserta konferensi, kata Marty, telah berkomitmen untuk terus berkoordinasi dan melakukan upaya bersama yang mencakup upaya pencegahan, deteksi dini, perlindungan dan penindakan untuk menangani masalah pergerakan manusia ilegal di kawasan baik itu penyelundupan dan perdagangan manusia, serta pencari suaka.
“Langkah-langkah pencegahan, langkah-langkah deteksi dini, langkah-langkah perlindungan… Bentuk penanganan tersebut ada langkah-langkah konkret yang sudah kita pastikan akan kita lakukan misalnya mengatasi kondisi yang menyebabkan terjadinya penyelundupan manusia dan perdagangan manusia, kita berbicara masalah kebijakan visa, kita juga membicarakan tentang pemberian informasi negara-negara dan seterusnya. Kami kira langkah-langkah itu sudah sangat jelas,” ujarnya.
Marty menambahkan konferensi tersebut juga membahas terkait kebijakan visa dan pembagian informasi antar negara. Menurut Marty, 12 negara peserta konferensi berkomitmen untuk memperketat visa di negaranya masing-masing agar tidak disalahgunakan.
Dia juga menyatakan para peserta pertemuan ini juga akan mengkaji secara berkala apa yang telah dilakukan dalam pertemuan berikutnya.
“Ada komitmen dari negara-negara untuk memperketat masalah visa, untuk memastikan peraturan visa ini tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak penyelundup manusia, karena selama ini fasilitas visa on arrival telah disalahgunakan. Setiap negara akan mengambil langkah untuk memastikan itu tidak disalahgunakan,” ujarnya.
Konferensi di Jakarta ini merupakan lanjutan dari pertemuan Presiden Susilo Bambang dan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd di Istana Bogor pada 3 Juli lalu.
Konferensi khusus di kantor Kementerian Luar Negeri Indonesia tersebut dihadiri delegasi dari 12 negara asal, transit dan tujuan para pencari suaka, yakni Indonesia, Australia, Bangladesh, Kamboja, Malaysia, Filipina, Pakistan, Selandia Baru, Papua Nugini, Sri Lanka, Thailand dan Burma. Sayangnya, salah satu negara asal pencari suaka yang cukup besar, yaitu Iran tidak ikut hadir dalam pertemuan ini.
Menteri Imigrasi Australia Tony Burke mengatakan masalah penyelundupan manusia dan pencari suaka merupakan masalah bersama yang harus ditangani dan membutuhkan tanggung jawab bersama.
Deklarasi Jakarta, tambahnya, telah memberikan struktur dan kerangka kerja yang jelas bagaimana menghadapi masalah para pencari suaka dan manusia perahu yang telah disepakati sebagai masalah bersama di kawasan.
Menurutnya, dalam pertemuan itu juga dibahas soal kemungkinan pemulangan kembali para pencari suaka ke negara asalnya.
Dalam pertemuan internasional biasanya mekanisme pemulangan selalu secara sukarela, tapi dalam pertemuan tadi kita memahami kalau dalam kondisi tertentu, para pencari suaka memang harus dipulangkan ke negara asal jika tidak memenuhi klaim mereka sebagai pencari suaka,” ujar Burke.