Pada penghujung tahun 2019 konflik antara harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan manusia terjadi di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Sedikitnya ada tujuh kasus serangan harimau Sumatera di Sumsel dalam kurun waktu dua bulan sejak November hingga Desember 2019. Dalam tujuh kasus tersebut, lima orang tewas, dua lainnya luka-luka.
Kasus penyerangan harimau Sumatera kembali terjadi, namun kali ini di Provinsi Riau. Seorang pria bernama Darmawan (42) warga Desa Pasir Mas, Kecamatan Batang Tuaka, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, dilaporkan meninggal dunia akibat diterkam harimau Sumatera, di kawasan hutan sekitar Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pengaliran, Indragiri Hilir, pada saat mencari kayu.
Penyerangan harimau Sumatera terhadap seorang warga di Riau itu, menambah rentetan daftar merah konflik antara si ‘Raja Hutan’ di Bumi Andalas tersebut dengan manusia yang tak kunjung usai.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Suharyono mengatakan kepada VOA serangan harimau itu terjadi pada Kamis (30/1) sekitar pukul 09.00 WIB. Pada kejadian tersebut, korban bersama kedua rekannya sedang mencari kayu. Belakangan diketahui mereka merupakan pembalak liar atau sedang melakukan kegiatan illegal logging di kawasan tersebut.
“Mereka sedang melakukan penebangan kayu di kawasan tersebut. Pada saat mencari kayu tersebut, saksi yang masih hidup ada kerusakan pada alat pemotong lalu dia pinjam obeng kepada korban. Pada saat saksi mendekati Darmawan, dia melihat ada seekor harimau di belakang korban yang sedang mengintai. Kemudian saksi memberikan peringatan kepada korban agar berbalik dan melihat harimau, tapi pada saat itu harimau menerkam Darmawan," kata Suharyono, Jumat (31/1).
"Dua rekan korban menyelamatkan diri. Kemudian bersama rekan-rekan lain setelah banyak orang mencari korban dan pada pukul 13.00 WIB, jenazah atas nama Darmawan ditemukan. Lalu, berhasil dibawa keluar dari hutan ke desa terdekat pada pukul 20.00 WIB,” imbuhnya.
Suharyono menjelaskan, kawasan yang digunakan korban untuk melakukan penebangan liar merupakan salah satu kantong harimau Sumatera yang ada di Riau. Kawasan hutan tersebut adalah habitat asli harimau.
Kantong harimau di Riau diketahui tersebar mulai dari wilayah selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh menyambung ke arah Suaka Margasatwa Kerumutan,wilayah Taman Nasional Tesso Nillo hingga Suaka Margasatwa Rimbang Baling sampai ke Suaka Margasatwa Bukit Batu adalah habitat harimau Sumatera di Riau.
“Semua orang Riau tahu di situ adalah wilayah kantong harimau bukan tempat hunian manusia. Tiga orang yang melakukan aktivitas itu bukan warga setempat. Itu warga dari kecamatan lain tapi masih di Kabupaten Indragiri Hilir, yang datang ke situ tujuannya hanya untuk mencari kayu," jelas Suharyono.
Lanjutnya, serangan harimau terhadap manusia di Kabupaten Indragiri Hilir itu bukan yang pertama. Sebelumnya telah terjadi kasus penyerangan sebanyak lima kali di wilayah itu, dalam kurun waktu 2019 hingga 2020. Namun, BBKSDA Riau menampik jika penyerangan harimau tersebut membuktikan tingginya angka konflik antara satwa yang dilindungi itu dengan manusia.
“Sebenarnya tidak bisa disederhanakan seperti itu. Kami dari tahun 2018 sampai saat ini tidak henti melakukan observasi di wilayah tersebut. Kami juga tidak pernah berhenti untuk menyosialisasi kegiatan preventif memberitahukan ke masyarakat dengan meningkatkan rutinitas patroli BBKSDA Riau di sana untuk menyadarkan warga agar tidak beraktivitas di situ,” ujar Suharyono.
BBKSDA Riau mengakui jika habitat harimau Sumatera terus mengalami penyempitan. Maraknya perburuan terhadap pakan dari harimau yang dilakukan oleh masyarakat juga menjadi faktor terjadinya konflik antara manusia dengan satwa yang memiliki ciri khas dengan motif belang berwarna oranye dan hitam di bagian tubuhnya tersebut.
“Ya dapat kami sampaikan pasti terganggu dengan ruang kawasan hutan konservasi yang semakin menyempit. Sebab harimau dewasa dia bisa jelajah 40 kilometer. Lalu, tentunya kita sama-sama tahu masih banyak warga di Riau yang berburu secara liar targetnya mungkin babi hutan, rusa, dan lainnya bukan harimau. Meski kadang-kadang bisa harimau. Padahal itu adalah pakan alami bagi harimau. Kalau itu direbut oleh manusia ya harimau akan mencari pakan lagi. Dua situasi ini mengakibatkan kehidupan harimau terusik. Kalau ruang hidup mereka (harimau) cukup, pakan tidak kita rebut. Lalu, tak menimbulkan kebisingan yang tidak perlu di kawasan hutan, saya kira mereka nyaman-nyaman saja hidup di kawasan hutan,” ungkap Suharyono.
Dalam mencegah atau meminimalisir konflik satwa liar dengan manusia BBKSDA Riau juga telah melakukan sejumlah upaya seperti mengimbau masyarakat agar tidak beraktivitas di wilayah kantong-kantong harimau. Tidak melakukan aktivitas penebangan liar dan jangan bertindak anarkis terhadap harimau Sumatera yang merupakan satwa dilindungi. Tindakan itu merupakan salah satu langkah untuk mencegah harimau Sumatera menyusul dua saudaranya yang telah punah yakni harimau Jawa dan harimau Bali.
BACA JUGA: Akhir 2019, Serangan Harimau ke Manusia di Sumsel Meningkat“Sebenarnya sudah beberapa kali kami sampaikan bahwa keberadaan harimau di situ bukan tiba-tiba. Harimau dari dulu rumahnya memang di situ. Namun hanya saja dengan ruang hijau atau hidup bagi harimau dan satwa liat lainnya yang berada di Riau semakin berkurang, otomatis kemampuan jelajah dia itu akan sampai ke tempat di mana dulu sebenarnya merupakan bekas kawasan hutan. Salah satu yang bisa kami simpulkan kenapa terjadi konflik karena ruang hidup satwa sudah berkurang,” tutur Suharyono.
Menurut BBKSDA Riau, populasi harimau Sumatera terus mengalami peningkatan sejak tahun 2016. Namun, Suharyono enggan menyebut populasi harimau yang tersebar di wilayah Riau.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Riko Kurniawan mengungkapkan pemerintah harus melakukan upaya agar kasus konflik satwa liar dengan manusia dapat diminimalisir. Salah satunya mengurangi perubahan fungsi lahan hingga melakukan mitigasi untuk penanganan harimau Sumatera di Riau.
“Mempertahankan hutan alam yang tersisa di sana agar tidak dialihfungsikan. Lalu, bagaimana Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) melakukan upaya mitigasi untuk penanganan harimau ini. Kalau dibiarkan terus seperti ini, kuat dugaan kami potensi korban ke depan bakal ada,” kata Riko saat dihubungi VOA. [aa/lt]