Konflik Militer Turki-Suriah Tingkatkan Ketegangan Wilayah

Polisi Turki berjaga-jaga di Hatay, kota utama di Provinsi Antakya yang berbatasan dengan Suriah (foto: Dok).

Kontak senjata antara Turki dan pasukan di Suriah mengancam melebarnya konflik di kawasan, menggaris-bawahi perbedaan antara negara Arab dan non-Arab, serta antara pemerintah pimpinan Sunni dan Syiah.
Turki berada di barisan depan negara-negara yang menentang pemerintah Suriah, berpotensi menarik sekutunya NATO ke dalam konflik yang oleh banyak pihak di wilayah itu diharapkan dapat diselesaikan secara lokal.

Sejumlah analis wilayah yakin Ankara tidak akan mengambil langkah itu, meskipun terjadi baku-tembak selama beberapa jam terakhir.

Nadim Shehadi adalah seorang peneliti pada Chatham House yang berbasis di London. Ia mengatakan bahwa Turki tidak akan menyatakan perang. Turki akan membutuhkan dukungan internasional dan dukungan Arab untuk bergerak maju.

Dukungan Arab dipertanyakan. Meskipun Liga Arab menangguhkan keanggotaan Suriah tahun lalu, dan presiden Mesir memimpin upaya regional untuk mengakhiri konflik di Suriah, tidak ada negara Arab yang mengindahkan himbauan Qatar agar Arab melakukan intervensi militer langsung.

Tentang negara-negara Barat mitra Turki, Shehadi percaya Ankara tengah menyiapkan rencana jangka panjang.

Pada sebagian besar dekade terakhir, Ankara telah berusaha untuk meningkatkan profil regionalnya, menjalin hubungan di antaranya dengan pemerintah Suriah dan membuat terobosan ke dalam wilayah politik dan ekonomi negara-negara tetangganya.

Dengan pergolakan di beberapa negara Arab tahun lalu, Turki terus menerus melakukan terobosan, menjadi yang pertama, misalnya, membuka kedutaan besar di Libya paska Ghadhafi.

Turki telah lama mendukung pemberontakan di Suriah, menerima puluhan ribu pengungsi dan meletakkan dasar bagi oposisi politik Suriah. Perbatasan Turki telah menjadi gerbang bagi dukungan luar terhadap pemberontak, memperkuat perannya sebagai pemimpin regional, jika bukan, pemimpin Arab.

Bantuan seperti itu telah membuat marah beberapa pihak di Damaskus, seperti Bassam Abu Abdullah yang mempunyai kelompok penelitian politik- swasta di ibukota Suriah.

"Mereka mencoba mengirim lebih banyak pemberontak dan senjata. Para pemberontak itu terdiri dari berbagai bangsa,” papar Abdullah.

Para analis politik melihat hal itu sebagai perpecahan mendasar antara Suriah dan Iran yang dipimpin Syiah, dengan Turki dan negara-negara Teluk yang dipimpin Suni.

Dia tetap mengatakan bahwa Amerika dan Eropa menggunakan konflik itu, sebagian, untuk mematahkan musuh mereka Iran dan wilayah kekuasaan Syiah di Timur Tengah.

Shehadi, analis dari Chatham House tidak setuju, dia melihat ketegangan saat ini meningkat karena politik internal Turki: oposisi menegur pemerintah karena terlalu banyak bertindak sendiri di Suriah.

NATO menolak gagasan intervensi, seperti apa yang mereka lakukan tahun lalu di Libya. Apakah Turki akan meminta NATO mengubah sikap mengenai Suriah, masih belum jelas.