“Saya pernah mengalami pelecehan seksual pada 2018. Pelakunya adalah salah satu pejabat publik, Pada saat itu saya mencoba bersikap, namun yang terjadi adalah saya dibully dan disalahkan lingkungan sekitar saya, yang menyebabkan saya ingin bunuh diri pada 2019.”
Pernyataan tersebut dituturkan oleh salah seorang penyintas kekerasan seksual yang berbagi pengalaman pahitnya dalam acara doa bersama yang digelar oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), pada Selasa (14/12), dalam menyikapi kondisi kekerasan seksual yang semakin marak terjadi di Indonesia.
Kemalangan yang menimpa korban tidak berhenti sampai di situ. Ia terus menerima perundungan dan pelecehan verbal dan kini mengaku ketakutan setiap bertemu orang baru. Korban mengaku kini ia sulit menjalin pertemanan dan merasa menjadi pribadi yang tertutup sejak kasus tersebut.
BACA JUGA: Marak Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di Kampus, Komnas Perempuan: Fenomena Gunung EsKasus kekerasan seksual, khususnya di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan yang terjadi secara beruntun belakangan ini, mengundang keprihatinan seluruh pihak. KUPI bahkan menyebut kondisi yang ada saat ini sudah memasuki level darurat.
Dalam pernyataan resmi pada Selasa (14/12) malam, Hj Badriyah Fayumi selaku Ketua Majelis Musyawarah KUPI menyebutkan bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan norma-norma adat dan tradisi luhur ketimuran dan nilai-nilai Pancasila. Tindakan tersebut juga melanggar hak-hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi.
“Kekerasan seksual di Indonesia sudah mencapai tahap darurat sehingga memerlukan kerja sama seluruh komponen bangsa yang beradab, sebagai panggilan iman bagi seluruh umat beragama,” kata Badriyah membacakan pernyataan sikap KUPI.
Para ulama perempuan Indonesia mengkategorikan tindak kekerasan seksual oleh siapapun, kapanpun, dimanapun, dan dalam bentuk apapun sebagai bentuk kezaliman. Tindakan itu bertentangan dengan cita-cita Islam, yang berupaya menjadi ajaran yang menciptakan rahmat bagi semesta dan menyempurnakan akhlak mulia manusia.
Negara Harus Hadir
KUPI dan Jaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekeraan Seksual (JMPDKS) menilai bahwa negara sudah seharusnya menciptakan sistem perlindungan hukum yang memadai melihat kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia saat ini.
Sistem hukum itu harus mampu mencegah setiap anak bangsa menjadi korban, maupun pelaku kekerasan seksual. Selain itu, hukum juga harus melindungi, memulihkan korban, dan merehabilitasi pelakunya.
Jaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan Seksual adalah gabungan sekitar 300 organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap persoalan ini.
Dalam rekomendasinya, kedua jaringan ini meminta tokoh agama, tokoh masyarakat, serta tokoh adat, untuk menjaga adat, tradisi, dan tafsir keagamaan yang adil beradab.
“Pemerintah mesti sungguh-sungguh mengupayakan sistem pendidikan publik untuk membangun kesadaran tentang bahaya kekerasan seksual, dan membangun sistem pelindungan hukum untuk mencegah siapapun menjadi korban dan pekaku kekerasan, serta melindungi dan memenuhi hak-hak korban,” papar Prof Wawan Gunawan Abdul Wahid, akademisi UIN Sunan Kalijaga, yang hadir dalam acara doa bersama tersebut.
Secara khusus, KUPI meminta DPR dan pemerintah segera memenuhi tanggung jawabnya, mewujudkan sistem perlindungan hukum yang memberikan akses keadilan bagi korban. Sistem hukum itu juga harus mampu mencegah keberulangan tindak pidana kekerasan seksual, menjamin tidak adanya impunitas pelaku, serta menjaga setiap warga bangsa dari menjadi pelaku dan korban kekerasan seksual.
“KUPI berharap, media massa dan para influencer dapat mengoptimalkan peran pembentukan wacana dan sikap mendukung korban dan memutus impunitas pelaku kekerasan seksual,” tambah Wawan.
Desakan Pengesahan RUU PKS
Dalam kondisi seperti saat ini, desakan kepada DPR dan pemerintah agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) semakin kencang. Seruan akan pengesahan akan RUU tersebut juga muncul dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga, Prof Amany Lubis.
BACA JUGA: Pesantren dan Sekolah Berasrama Harus Bersih Predator Anak“Negara, pemerintah, ulama dan masyarakat perlu bahu-membahu mengambil peran dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual dari hulu ke hilir. Saatnya RUU TPKS disahkan dengan segera, untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dan juga menjadi kepastian hukum bagi para pelaku serta perlindungan terhadap korban,” kata Amany.
Setelah tujuh fraksi di DPR menyetujui bahwa RUU TPKS menjadi usulan inisiatif DPR, RUU tersebut, yang nasibnya sudah terkatung-katung dalam beberapa tahun terakhir, kini bersiap dibawa ke rapat paripurna DPR agar resmi disahkan menjadi RUU inisiatif DPR.
Your browser doesn’t support HTML5
RUU TPKS yang sebelumnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sempat dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional pada 2020. Isi dari naskah RUU tersebut yang sudah mengalami perubahan juga sempat mendapatkan kritik dari para aktivis yang menilai perubahan dalam RUU itu tidak mengakomodasi kebutuhan para korban kekerasan seksual.
“Yang paling penting dilakukan negara adalah membuat undang-undang, sehingga warga negara merasa terlindungi. Semua agama melindungi korban yang lemah, dan korban kekeraan seksual adalah pihak yang lemah, karena itu perlu perlindungan,” ujar Ketua Fatayat Nahdlatul Ulama, Anggia Ermarini. [ns/rs]