Eksistensi dan peran ulama perempuan di Indonesia tidak banyak diketahui karena minimnya dokumentasi dan publikasi mengenai isu ini. Untuk pertama kalinya pada 25-27 Apri lalu para ulama wanita berkumpul membahas masalah-masalah konstekstual terkait kaum hawa dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia KUPI yang I, di Pesantren Kebon Jambu al-Islami, Cirebon, Jawa Barat. Kongres ini dihadiri sekitar 1.280 ulama dan cendekia perempuan dari seluruh penjuru tanah air.
Kepada VOA usai acara peluncuran hasil Kongres Ulama Perempuan Indonesia di Jakarta, Selasa (29/8), Ketua Kongres Badriyah Fayumi menjelaskan kongres itu menghasilkan sejumlah hal penting. Pertama, ada pengakuan terhadap eksistensi dan peran ulama perempuan dalam sejarah peradaban Islam di Indonesia. Terlebih KUPI berhasil mengeluarkan fatwa atas tiga isu besar, yakni kekerasan seksual, pernikahan anak, dan kerusakan alam.
"KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) berpendapat kekerasan seksual baik di dalam maupun di luar perkawinan hukumnya haram, sehingga semua pihak wajib melakukan upaya pencegahan dan ketika terjadi harus melakukan penanganan-penanganan dan itu kami wujudkan dalam berbagai rekomendasi. Mengenai perusakan alam, atas nama apapun, termasuk atas nama pembangunan, hukumnya haram mutlak dan negara wajib hadir untuk melakukan pencegahan," ungkap Badriyah.
Pengasuh Pesantren Mahasiswa di Bekasi, Jawa Barat, ini menambahkan Kongres Ulama Perempuan Indonesia juga menyatakan mencegah pernikahan anak adalah wajib karena pernikahan anak lebih banyak menimbulkan kerusakan ketimbang mendatangkan manfaat dan kebaikan. Badriyah menekankan bahwa orang tua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah merupakan aktor terdepan yang wajib mencegah perkawinan anak. Kalau pernikahan anak telah terjadi, maka kewajiban semua pihak tadi untuk memastikan adanya perlindungan hak-hak anak, terutama hak atas pendidikan, kesehatan, pengasuhan dari orang tua, dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
Badriyah menegaskan KUPI hadir untuk memperbaiki pemahaman keagamaan yang salah sehingga menimbulkan masalah dalam kehidupan. Namun ia berharap kehadiran KUPI tidak menimbulkan gesekan dengan para ulama laki-laki. Bahkan, dia menyebutkan KUPI mendapat dukungan beragam tokoh, seperti Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia MUI Kiai Ma’ruf Amin dan Wakil Presiden sekaligus Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla.
Badriyah mengakui Kongres Ulama Perempuan Indonesia juga hadir karena selama ini persoalan-persoalan berkaitan dengan perempaun diputuskan oleh laki-laki tanpa melibatkan kaum hawa dan hal tersebut kerap menimbulkan kesalahan. Karena itu, Kongres Ulama Perempuan Indonesia, menurut Badriyah, ingin memperbaiki situasi semacam itu. “Sudah saatnya eksistensi dan peran ulama perempuan tidak lagi terkubur sejarah,’’ tegas Badriyah.
"Jadi soal keadilan sejarah. Bahwa di mana-mana perannya banyak tapi namanya ditulis saja kok nggak. Contoh Sultanah Safiyatuddin itu 34 tahun menjadi ratu di Aceh Darussalam yang mufti-mufti besarnya menjadi nama perguruan tapi ratunya nggak pernah tertulis dalam sejarah. Karena historiografi belum berimbang itu, maka menghadirkan cara pandang yang lebih inferior," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dr Atiyatul Ulya – pengajar di Fakultas Ushuludin Universitas Islam Syarif Hidayatullah – mengatakan bahwa sebelum kongres berlangsung, pengurus kongres telah menemui sejumlah tokoh agama dan organisasi Islam agar tidak terjadi gesekan bila Kongres Ulama Perempuan Indonesia menghasilkan fatwa. Sejauh ini ada beberapa program yang dihasilkan untuk mengkomunikasikan tiga fatwa; di luar sejumlah rekomendasi penting lainnya.
"Kita sudah menghadirkan dari berbagai elemen, dari berbagai perspektif ilmu, itu betul-betul bisa menjawab berbagai persoalan sangat krusial sekarang ini, persoalan tentang kekerasan, kemudian tentang pernikahan dini, dan isu lingkungan," tutur Atiyatul.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara rekomendasi yang dihasilkan adalah soal pendidikan agama bagi ulama perempuan, respon pesantren terhadap ulama perempuan, penghentian kekerasan seksual, perlindungan anak dari pernikahan dini, perlindungan buruh migran.
KUPI juga menyampaikan rekomendasi di bidang pemberdayaan perempuan untuk pembangunan desa, rekomendasi soal perempuan dalam menghadapi radikalisme, rekomendasi terkait peran startegi ulama perempuan dalam menghadapi konflik dan krisis kemanusiaan, serta rekomendasi tentang peran ulama perempuan dalam menyelesaikan ketimpangan sosial dan kerusakan alam. [fw/em]