Sejak usia sekolah dasar, Sutipah, perempuan asal Jember, telah kehilangan sosok ibu. Keterbatasan ekonomi keluarga membuatnya memutuskan ikut seorang kerabat merantau ke Semarang dan terpaksa putus sekolah saat masih di bangku SMP.
“Saya merasa seperti tidak ada yang menguatkan saya, dari segi ekonomi juga enggak ada (yang membantu),” ungkap Sutipah saat mengisi diskusi publik “Bahaya Perkawinan Anak dan Perkawinan Anak Menurut UU TPKS” yang diselenggarakan Koalisi Perempuan Indonesia, lembaga advokasi INFID dan Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia pada Rabu, 17 Juli 2024.
Ia pun dibawa kembali ke kota asalnya dan bekerja di sebuah toko dengan upah minim. Menginjak usia 16 tahun, Sutipah menikah dengan pria yang terpaut 19 tahun lebih tua darinya. Harapannya, ia dan keturunannya kelak bisa terlepas dari kemelut ekonomi.
Ia mengakui bahwa dirinya saat itu belum memiliki wawasan soal pernikahan, kehamilan, terlebih mengasuh anak. Dua bulan berselang, ia mengandung dan sempat keguguran, sebelum kembali dikaruniai anak. Berangkat dari pengalaman dan traumanya, kini Sutipah bergabung di Koalisi Perempuan Indonesia untuk mengedukasi dan mengadvokasi isu perempuan dan perkawinan anak.
Kisah Sutipah bukanlah fenomena unik di Indonesia, di mana faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab maraknya perkawinan anak. Data UNICEF tahun 2023 menunjukkan bahwa saat ini terdapat 25,53 juta perempuan di Indonesia yang menikah pada usia di bawah 18 tahun. Indonesia duduk di peringkat empat dengan kasus perkawinan anak terbanyak di dunia, setelah India, Bangladesh, dan China.
Payung Hukum dan Celahnya
Demi menekan angka perkawinan anak di tanah air, sejumlah kebijakan progresif telah dibuat pemerintah, salah satunya melalui perubahan batas usia perkawinan. Sebelumnya, batas minimal usia menikah bagi perempuan adalah 16 tahun (UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Pascarevisi, batas minimal usia bagi pasangan yang akan menikah, baik laki-laki maupun perempuan, adalah 19 tahun (UU Nomor 16 tahun 2019).
Di sisi lain, pemerintah juga mengeluarkan regulasi (UU No. 16 Pasal 7 ayat (2) taun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung atau PERMA No. 5 Tahun 2019) mengenai dispensasi perkawinan, sebuah kelonggaran hukum di mana orang tua bisa mengajukan permohonan kawin bagi anaknya yang belum mencapai usia 19 tahun dengan alasan mendesak dan bukti kuat, tanpa rincian lebih jauh mengenai makna “mendesak”. Data Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menunjukkan pada tahun 2019-2023, sebanyak 95% permohonan dispensasi kawin dikabulkan pengadilan agama maupun pengadilan negeri—sepertiga alasan yang diajukan adalah kehamilan pada anak.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang baru disahkan pada tahun 2022, mengatur bahwa perkawinan anak termasuk ke dalam pemaksaan perkawinan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 tahun (Pasal 10 UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022).
BACA JUGA: Lagi, Kawin Anak Picu Tingginya Anak Stunting di JemberNamun, menurut peneliti IJRS, Aisyah Assyifa, perlu adanya pembahasan lebih lanjut mengenai revisi UU TPKS, misalnya terkait siapa yang dimaksud sebagai pelaku perkawinan anak. Sebab, tanpa definisi yang lebih jelas, anak yang menjadi korban pemaksaan perkawinan juga dapat terjerat hukuman pidana. Di samping itu, implementasi pasal UU TPKS yang menyangkut perkawinan anak juga dapat berisiko memberikan celah bagi tumbuhnya angka perkawinan tidak tercatat.
Dampak Serius Perkawinan Anak
“Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan yang komplit, dari segi fisik, seksual, mental dan sosial, yang sampai hari ini pun masih harus kita perangi meskipun kebijakannya sudah ada,” kata Nanda Dwinta Sari, ketua Yayasan Kesehatan Perempuan, pada acara diskusi yang sama.
Menurut Nanda, perkawinan anak sering menyebabkan kehamilan yang memunculkan risiko terhadap kesehatan reproduksi sang anak, di antaranya keguguran, kematian ibu dan bayi, pendarahan saat persalinan, dan bayi yang lahir prematur atau kekurangan gizi.
Sementara dari segi mental, anak berisiko mengalami gangguan kejiwaan karena stres dalam menghadapi kehamilan, depresi, hingga bunuh diri. Selain itu ada potensi penelantaran bayi karena orang tua belum siap mengasuh, serta pengambilan jalan pintas berupa aborsi yang tidak aman.
Dalam kehidupan sosial, anak berpotensi putus sekolah untuk menghindari rasa malu pada diri sendiri maupun keluarganya. Akibat terputusnya akses pendidikan, anak pun tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan yang memadai, sehingga dianggap tidak memiliki kapabilitas ketika bersaing di dunia kerja.
Bagaimana Mencegahnya?
Selain pemantauan implementasi regulasi dan dispensasi kawin, Nanda menjelaskan perlu adanya edukasi dan konseling sedini mungkin tentang hak-hak
reproduksi di level institusi pendidikan. Kurikulum sekolah yang mencakup informasi soal otonomi tubuh, ungkapnya, diperlukan anak untuk mengenali dan melawan kekerasan seksual.
Surya Nilasari, analis pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenristekbud), memaparkan bahwa Kemenristekbud telah menginisiasi sejumlah program terkait kesehatan reproduksi, di antaranya peraturan menteri tahun 2023 untuk mencegah kekerasan, termasuk kekerasan seksual, pembentukan satgas, serta program kesehatan reproduksi. Akan tetapi, program tersebut belum menjadi bagian dari kurikulum wajib sekolah.
Your browser doesn’t support HTML5
Sebelum Edukasi Anak, Edukasi Diri
Kesehatan reproduksi masih dianggap sebagai topik sensitif dan tabu di kalangan publik maupun keluarga. Untuk mengatasinya, Nanda menilai keterbukaan pikiran menjadi kunci utama bagi para orang tua.
“Sejak kecil kita selalu diajarkan, ‘enggak boleh ngomong gitu, enggak elok, enggak baik, sehingga itu terinternal ke diri kita’. Kalau bicara itu, kita sendiri malu. Maka, kita sebagai orang tua harus selesai dulu dengan informasi kesehatan reproduksinya,” ujarnya menjawab pertanyaan VOA pada Rabu (17/7).
Nanda menambahkan, ketimbang menyerukan larangan atau menggurui anak, yang membuat mereka justru menutup diri, langkah yang lebih baik adalah memvalidasi perasaan mereka. Selain itu, edukasi tidak hanya cukup diberikan kepada anak perempuan, tapi juga anak laki-laki, misalnya untuk tidak melakukan kekerasan seksual dan memerkosa.
Harapannya, anak memahami bahwa mereka harus bisa melindungi diri dan membuat keputusan tepat atas otonomi tubuh mereka sendiri, yang pada akhirnya dapat mencegah kehamilan dini yang tidak jarang berujung pada perkawinan anak. [br/ab]