KontraS mencatat kinerja kepolisian Indonesia dipenuhi praktik diskriminasi dan tindak kekerasan.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat kinerja kepolisian dipenuhi dengan praktik diskriminasi dalam memberikan pelayanan keamanan publik, dan ada kecenderungan melakukan tindak kekerasan dalam setahun terakhir.
Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan, salah satu yang disorot adalah lemahnya polisi saat berhadapan dengan kelompok vigilante atau sipil terorganisasi yang ditujukan untuk mengurangi, membatasi, atau meniadakan hak-hal warga sipil lain.
“Selain praktik kekerasan ada netralitas dan juga ada praktik diskriminasi yang juga tumbuh subur dilakukan oleh polisi. Jika berhadapan dengan kelompok minoritas baik secara agama, ekonomi atau jumlah, mereka kurang mendapatkan akses keadilan.
Namun jika yang dihadapi adalah pengusaha, kelompok mayoritas, polisi sangat bersahabat sekali. Karena polisi dalam beberapa aspek terlihat dekat bagian dari kelompok-kelompok tersebut,” ujarnya pada sebuah diskusi mengenai kinerja polisi pada Rabu (4/7).
Haris menambahkan, selain praktek diskriminasi, polisi juga masih melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan tugasnya.
KontraS mencatat bahwa sejak Juli 2011 hingga Juni 2012, ada 187 kekerasan yang dilakukan polisi. Dari angka itu yang terbanyak terjadi di Sumatra Utara dengan 31 kasus dan Papua 20 kasus.
Menanggapi hal itu, Kepala Biro Reformasi Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Brigjen Anjaya memastikan bahwa pengawasan anggota polisi di tingkat internal telah dilakukan hingga ke tingkat polsek.
“Kita terus melakukan pembinaan terhadap personil Polri dan melakukan upaya-upaya [meningkatkan] profesionalisme Polri. Sekarang kita sudah melakukan sampai ke tingkat polsek, agar masyarakat jika ada masalah tidak usah jauh-jauh sampai ke Polda. Telah dibangun juga profesionalisme provos di polsek, kemudian juga seksi pengawasan, untuk bisa menampung apa yang menjadi keluhan masyarakat,” jelasnya.
Kepala bidang penelitian hukum Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan Presiden harus mampu menghentikan adanya praktek kekerasan yang dilakukan oleh polisi.
“Polri dan TNI ada di bawah komando presiden, pemilik otoritas tertinggi yang bisa menggerakkan kedua actor keamanan ini. Jadi kinerja Polri bukan hanya di kalangan internal saja melakukan perubahan-perubahan berdasarkan apa yang sudah disuarakan dikeluhkan masyarakat, tetapi justru pemilik otoritas tertinggi ini, pemimpin nasional ini harus secara tegas dan kongkrit menghentikan kekerasan yang terjadi di wilayah publik dan privat. Ini adalah tanggung jawab negara menjadikan aparat keamanan nasional ini menjadi profesional,” kata Jaleswari.
Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan, salah satu yang disorot adalah lemahnya polisi saat berhadapan dengan kelompok vigilante atau sipil terorganisasi yang ditujukan untuk mengurangi, membatasi, atau meniadakan hak-hal warga sipil lain.
“Selain praktik kekerasan ada netralitas dan juga ada praktik diskriminasi yang juga tumbuh subur dilakukan oleh polisi. Jika berhadapan dengan kelompok minoritas baik secara agama, ekonomi atau jumlah, mereka kurang mendapatkan akses keadilan.
Namun jika yang dihadapi adalah pengusaha, kelompok mayoritas, polisi sangat bersahabat sekali. Karena polisi dalam beberapa aspek terlihat dekat bagian dari kelompok-kelompok tersebut,” ujarnya pada sebuah diskusi mengenai kinerja polisi pada Rabu (4/7).
Haris menambahkan, selain praktek diskriminasi, polisi juga masih melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan tugasnya.
KontraS mencatat bahwa sejak Juli 2011 hingga Juni 2012, ada 187 kekerasan yang dilakukan polisi. Dari angka itu yang terbanyak terjadi di Sumatra Utara dengan 31 kasus dan Papua 20 kasus.
Menanggapi hal itu, Kepala Biro Reformasi Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Brigjen Anjaya memastikan bahwa pengawasan anggota polisi di tingkat internal telah dilakukan hingga ke tingkat polsek.
“Kita terus melakukan pembinaan terhadap personil Polri dan melakukan upaya-upaya [meningkatkan] profesionalisme Polri. Sekarang kita sudah melakukan sampai ke tingkat polsek, agar masyarakat jika ada masalah tidak usah jauh-jauh sampai ke Polda. Telah dibangun juga profesionalisme provos di polsek, kemudian juga seksi pengawasan, untuk bisa menampung apa yang menjadi keluhan masyarakat,” jelasnya.
Kepala bidang penelitian hukum Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan Presiden harus mampu menghentikan adanya praktek kekerasan yang dilakukan oleh polisi.
“Polri dan TNI ada di bawah komando presiden, pemilik otoritas tertinggi yang bisa menggerakkan kedua actor keamanan ini. Jadi kinerja Polri bukan hanya di kalangan internal saja melakukan perubahan-perubahan berdasarkan apa yang sudah disuarakan dikeluhkan masyarakat, tetapi justru pemilik otoritas tertinggi ini, pemimpin nasional ini harus secara tegas dan kongkrit menghentikan kekerasan yang terjadi di wilayah publik dan privat. Ini adalah tanggung jawab negara menjadikan aparat keamanan nasional ini menjadi profesional,” kata Jaleswari.