Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar hari Minggu (27/12) mengatakan kepada VOA, pemerintahan Presiden Joko Widodo masih tidak berpihak pada isu hak asasi manusia. Hal itu terlihat dari banyaknya kasus-kasus serius yang terjadi di tahun-tahun yang lampu yang tidak kunjung diselesaikan.
Selain itu, berbagai aturan hukum dan pernyataan-pernyataan pejabat negara yang anti-HAM juga menguat pada tahun ini.
Dijelaskannya sepanjang tahun 2015, Kontras menerima 62 pengaduan publik atas kasus-kasus yang memiliki dimensi pelanggaran hak-hak sipil dan politikseperti hak atas hidup (termasuk pada isu penyiksaan), jaminan perlindungan kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan, pembunuhan kilat tanpa proses hukum, penangkapan, dan penahanan sewenang-wenang.
Lebih lanjut Haris juga mengatakan sepanjang tahun ini ada 238 peristiwa pembatasan kebebasan secara sewenang-wenang terhadap pembela HAM, pekerja lingkungan dan masyarakat adat yang dikriminalkan termasuk aktivis anti korupsi yang juga dikriminalkan.
Kondisi ini diperparah dengan munculnya aturan, kebijakan serta rencana-rencana pemerintah yang menunjukan sikap anti hak asasi manusia seperti ketidakjelasan rencana penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Haris mengatakan, "Sepanjang tahun 2015, Kontras menerima 62 pengaduan publik atas kasus-kasus yang memiliki dimensi pelanggaran hak-hak sipil dan politik, utamanya diisu fundamental seperti hak atas hidup (termasuk pada isu penyiksaan), jaminan perlindungan kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan, pembunuhan kilat tanpa proses hukum, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang."
Haris Azhar menambahkan, kasus intoleransi dan pembatasan kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan juga masih terjadi pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Kontras mencatat pada tahun 2015 ini terjadi 96 praktek intoleransi dan pembatasan kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan; di mana ada 18 peristiwa di Jawa Barat, 11 peristiwa di DKI Jakarta dan Banten dan 9 peristiwa di Aceh.
Salah satu kasus yang dinilai Kontras harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat adalah ketegangan sosial terkait sentimen keagamaan di Aceh, khususnya di wilayah Singkil dan Kutacane serta Tolikara, Papua.
Pemerintah pusat lanjutnya juga harus menegur pejabat daerah yang tidak memiliki perspektif HAM yang menyebabkan pejabat itu mengeluarkan kebijakan yang memperburuhk jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia. Dia mencontohkan DI Aceh, Bupati SIngkil, mengeluarkan larangan ibadah Natal digereja yang beberapa bulan lalu diserang. Alih-alih memperbaiki jaminan perlindungan malah mengeluarkan kebijakan yang meneruskan pengekangan kebebasan beribadah.
"Ini menjadi wilayah-wilayah yang kerap membangun sentimen anti toleransi. Khususnya ketika pemerintah lokal membangun ruang kompromi dengan ormas (organisasi masyarakat) yang menjunjung advokasi keagamaan garis keras," tambah Haris.
Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan Luhut Binjar Pandjaitan mengatakan pemerintah saat ini sedang mencari format yang baik dalam menyelesaikan kasus-pelanggaran HAM berat masa lalu.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu, lanjutnya, harus tuntas.
Luhut mengatakan, "Kan sudah lama kita harapkan seperti Afrika Selatan masa forgive and forget ga bisa tentu kan nanti dicari formatnya. Saya belum tahu berapa lama tetapi keinginan Presiden rekonsiliasi itu mesti ada. Kita mari menatap masa depan yang lebih baik."
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah menegaskan akan menjunjung tinggi dan menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bahwa di Indonesia tidak boleh ada kekerasan atas nama agama. [fw/em]