KontraS Sesalkan Mandeknya 11 Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat

  • Fathiyah Wardah

Para kerabat berdemo di luar Kedutaan Besar AS sambil membawa foto para aktivis yang hilang dan korban pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh sejumlah anggota KOPASSUS pada 1997-1998, 27 Juli 2010. (Foto: Dita Alangkara/AP)

Rekomendasi penyelesaikan kasus HAM berat yang dikeluarkan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) disebut jalan di tempat.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina, menyesalkan lambatnya implementasi rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) terkait pelanggaran HAM berat meski hampir setahun berlalu.

Ia mengungkapkan bahwa dari sebelas rekomendasi tersebut, baru dua hal yang dijalankan pemerintah, yaitu pengakuan presiden terhadap kasus pelanggaran HAM berat dan pembentukan tim untuk memantau serta melaksanakan rekomendasi dari Tim PPHAM.

Jane juga mencatat bahwa lembaganya menemukan sejumlah catatan terkait hal ini. Ia menyayangkan bahwa pengakuan presiden atas pelanggaran HAM berat tidak disertai permintaan maaf, pengungkapan kebenaran, maupun proses akuntabilitas negara dalam penyelesaian kasus secara yudisial.

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Butuh Kemauan Politik. (Foto: Maria Katarina Sumarsih)

Selain itu, Jane juga mengkritik 11 rekomendasi Tim PPHAM yang dianggap tidak jelas dalam hal proses, implementasi, dan datanya. Ini termasuk bantuan sosial, kesehatan, dan pendidikan yang tidak jelas peruntukannya serta siapa saja yang berhak menerimanya. Ia mengungkapkan pihaknya menemukan bahwa data yang dimiliki Tim PPHAM tidak sesuai dengan data di lapangan, dan menurutnya, banyak korban yang dipilih secara diskriminatif oleh tim tersebut.

“Pasca-kick off, pemerintah datang ke Aceh melakukan assessment kepada keluarga korban, kemudian korban butuh apa, nah itu yang diberikan. Catatan kami, korban diberikan alat pertanian dan pembelian hewan ternak. Dan hal itu justru kami pertanyakan apa esensi dan urgensi, apakah itu sudah merepresentasikan hak-hak korban dalam artian nyawa keluarga yang dihilangkan secara paksa atau dibunuh secara tragis oleh negara kemudian digantikan oleh hewan ternak,”ujar Jane kepada VOA, Senin (10/6).

BACA JUGA: 25 Tahun Tragedi Berdarah Simpang KKA Aceh: Para Korban Tagih Janji Jokowi

Lebih lanjut Jane mengatakan ada pemulihan berupa bantuan sosial yang ditujukan kepada keluarga pelanggaran berat HAM berupa program keluarga harapan. Korban, lanjut Jane, disamakan dengan masyarakat yang tecantum dalam data kemiskinan. Menurut dia, ada sebagian keluarga korban lainnya yang saat ini juga sudah diproses datanya untuk diberikan BPJS prioritas, tetapi hingga kini tidak kunjung hadir.

Rekomendasi lainnya yang menjadi sorotan terkait upaya menuliskan ulang sejarah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini, menurut Jane, penting dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Reka penulisan ulang sejarah kasus HAM juga dapat mengetahui serta memenuhi hak-hak korban dan keluarganya. Jane mengatakan 11 rekomendasi tim PPHAM tidak berjalan dan dipertanyakan.

Your browser doesn’t support HTML5

Papua dan Kasus HAM Berat Disorot Komite PBB

Untuk itu Jane meminta pemerintah untuk kembali menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai dengan makanisme UU pengadilan HAM.

Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin P.Siagian belum dapat berkomentar banyak ihwal langkah lembaganya terkait penyelesaian rekomendaasi Tim PPHAM. Dia berharap presiden mendatang dapat memperpanjang surat keputusan presiden tentang pembentukan tim pengawas 11 rekomendasi PPHAM.

“Calon yang terpilih ini mereprestasikan diri sebagai kelanjutan pemerintah sebelumnya, kecuali yang terpilih bukan kelanjutan tapi karena yang terpilih kelanjutan berharap dan melihat peluang rekomendasi bisa kembali dijalankan,” ujarnya.

Terkait hal itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Mugiyanto buka suara. Ia mengatakan waktu yang dimiliki pemerintah minim, tetapi dia memastikan “kerja” ini tidak akan berhenti. Dia juga yakin 11 rekomendasi Tim PPHAM akan dilanjutkan oleh presiden berikutnya.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama korban pelanggaran HAM berat masa lalu melakukan aksi di depan Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta Kamis 31/3 (VOA/Fathiyah).

Masalah pelanggaran HAM berat di Tanah Air telah lama menjadi perhatian banyak pihak. Presiden Jokowi pada awal tahun lalu menyatakan bahwa pemerintah mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa pada masa lalu. Ke-12 peristiwa itu adalah peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius, peristiwa penembakan Talangsari di Lampung 1989, peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa, kerusuhan Mei, tragedy Trisakti, Semanggi I-II, peristiwa pembunuhan dukun santet, pembunuhan simpang KKA, Aceh, peristiwa Wasior dan Wamena, Papua serta peristiwa jambo Keupok.

Atas pengakuan itu, Tim PPHAM memberikan 11 rekomendasi kepada Jokowi terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat. Rekomendasi dimaksud, yakni pertama, menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu. Kedua, melakukan tindakan penyusunan ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa.

Ketiga, memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat lainnya yang tidak masuk dalam cakupan mandat Tim PPHAM. Keempat, melakukan pendataan kembali korban. Kelima, memulihkan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak-hak sebagai warga negara.

Your browser doesn’t support HTML5

KontraS Sesalkan Mandeknya 11 Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat

Keenam, memperkuat penunaian kewajiban negara terhadap pemulihan korban secara spesifik pada satu sisi dan penguatan kohesi bangsa secara lebih luas pada sisi lainnya. Menurut Tim PPHAM, perlu dilakukan pembangunan berbagai upaya alternatif harmonisasi bangsa yang bersifat kultural.

Ketujuh, melakukan sosialisasi ulang kepada korban dengan masyarakat secara lebih luas. Kedelapan, membuat kebijakan negara untuk menjamin tidak berulangnya peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Kesembilan, membangun memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan.

Kesepuluh, melakukan upaya pelembagaan dan instrumentasi HAM meliputi ratifikasi beberapa instrumen hak asasi manusia internasional, amandemen peraturan perundang-undangan, dan pengesahan undang-undang baru. Kesebelas, membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi yang disampaikan oleh Tim PPHAM. [fw/ah]