Penelitian KontraS menunjukkan adanya pelanggaran HAM pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, mulai dari tindakan kekerasan sampai eksekusi.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), meluncurkan laporan penelitian adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 di berbagai daerah, mulai dari tindak kekerasan, penahanan sampai eksekusi. Bahkan sampai 2002, banyak pihak yang diduga terlibat juga diwajibkan melapor.
Anggota Badan Pekerja Kontras Yati Andriyani di Jakarta Kamis (28/6) menjelaskan, dari berbagai data yang masuk, tercatat adanya 17 titik kuburan massal di wilayah Jawa tengah. Proses eksekusi ini juga melibatkan masyarakat sipil, oleh para eksekutor.
“Dari mulai di Tawangmangu, Karanganyar, Boyolali, Semarang dan Cilacap dengan jumlah korban yang beragam dalam tiap lokasi. Sedikitnya kami temukan di tiap titik tersebut, ada sekitar empat orang sampai dengan 150-an orang dikubur di lokasi tersebut,” ujarnya.
Menurut Yati, metode eksekusi yang dilakukan hampir seragam polanya. Hampir semua korban terlebih dahulu ditutup matanya, kemudian matanya ditutup dan ditembak di kepala atau di tenggorokan.
Dampak dari pembasmian simpatisan dan orang-orang yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), atau yang dicurigai dekat, juga dirasakan di luar Pulau Jawa, diantaranya di Buton, Sulawesi Tenggara. Asman dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Buton Raya menjelaskan, sejak 1965 hingga 1974 kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Menurutnya, hingga 2002, orang-orang yang pernah ditahan karena dituduh PKI, masih diwajibkan untuk melapor
“Nama-nama orang yang terlibat dengan PKI ini terekam sangat baik dalam dokumen militer sampai di tingkat kepala desa. Ini diteruskan secara berkelanjutan dari kepala desa yang lama ke yang baru. Jadi orang-orang ini terus dipantau,” ujar Asman.
Penyelidikan kasus 1965 hingga kini masih menggantung di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisioner Komnas HAM Nurholis mengaku ada hambatan birokrasi yang dihadapi lembaga tersebut dalam melakukan pengungkapan kasus ini, khususnya terkait soal penggalian kuburan massal.
“Pendekatan hukum legal formal kita mensyaratkan bahwa penggalian yang dilakukan oleh siapapun termasuk penyelidik oleh Komnas HAM, harus ijin Jaksa Agung. Nah Jaksa Agung tidak kunjung mengeluarkan ijin tersebut,” kata Nurholis.
Ia menambahkan pada 3 Juli nanti, Komnas Ham akan mengeluarkan keputusan akhir terkait penyelidikan peristiwa 1965.
Pada peluncuran hasil penelitian pada Kamis (28/6) di kantor KontraS di Jakarta, juga dipamerkan sketsa lukisan karya Gumelar Demokrasno, yang juga merupakan salah satu tahanan politik peristiwa 1965.
Gumelar, salah seorang mantan seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI, sering menggambarkan penderitaan yang ia alami bersama korban lainnya di penjara Pulau Buru melalui lukisannya. Ia mengatakan tidak berharap terlalu banyak dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pelurusan sejarah dan rehabilitasi korban Peristiwa 1965.
“Saya tidak bisa mengharapkan apa-apa ya.. karena selama ini banyak suara-suara yang sumbang ya terhadap kinerja presiden. Sebagai negarawan dia sepertinya kurang mampu. Kita berharap bahwa nanti anak-anak muda yang mengelola republik ini menjadi lebih berkualitas. Dan bisa membuat masyarakat Indonesia lebih beradab,” ujar Gumelar.
Anggota Badan Pekerja Kontras Yati Andriyani di Jakarta Kamis (28/6) menjelaskan, dari berbagai data yang masuk, tercatat adanya 17 titik kuburan massal di wilayah Jawa tengah. Proses eksekusi ini juga melibatkan masyarakat sipil, oleh para eksekutor.
“Dari mulai di Tawangmangu, Karanganyar, Boyolali, Semarang dan Cilacap dengan jumlah korban yang beragam dalam tiap lokasi. Sedikitnya kami temukan di tiap titik tersebut, ada sekitar empat orang sampai dengan 150-an orang dikubur di lokasi tersebut,” ujarnya.
Menurut Yati, metode eksekusi yang dilakukan hampir seragam polanya. Hampir semua korban terlebih dahulu ditutup matanya, kemudian matanya ditutup dan ditembak di kepala atau di tenggorokan.
Dampak dari pembasmian simpatisan dan orang-orang yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), atau yang dicurigai dekat, juga dirasakan di luar Pulau Jawa, diantaranya di Buton, Sulawesi Tenggara. Asman dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Buton Raya menjelaskan, sejak 1965 hingga 1974 kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Menurutnya, hingga 2002, orang-orang yang pernah ditahan karena dituduh PKI, masih diwajibkan untuk melapor
“Nama-nama orang yang terlibat dengan PKI ini terekam sangat baik dalam dokumen militer sampai di tingkat kepala desa. Ini diteruskan secara berkelanjutan dari kepala desa yang lama ke yang baru. Jadi orang-orang ini terus dipantau,” ujar Asman.
Penyelidikan kasus 1965 hingga kini masih menggantung di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisioner Komnas HAM Nurholis mengaku ada hambatan birokrasi yang dihadapi lembaga tersebut dalam melakukan pengungkapan kasus ini, khususnya terkait soal penggalian kuburan massal.
“Pendekatan hukum legal formal kita mensyaratkan bahwa penggalian yang dilakukan oleh siapapun termasuk penyelidik oleh Komnas HAM, harus ijin Jaksa Agung. Nah Jaksa Agung tidak kunjung mengeluarkan ijin tersebut,” kata Nurholis.
Ia menambahkan pada 3 Juli nanti, Komnas Ham akan mengeluarkan keputusan akhir terkait penyelidikan peristiwa 1965.
Pada peluncuran hasil penelitian pada Kamis (28/6) di kantor KontraS di Jakarta, juga dipamerkan sketsa lukisan karya Gumelar Demokrasno, yang juga merupakan salah satu tahanan politik peristiwa 1965.
Gumelar, salah seorang mantan seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI, sering menggambarkan penderitaan yang ia alami bersama korban lainnya di penjara Pulau Buru melalui lukisannya. Ia mengatakan tidak berharap terlalu banyak dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pelurusan sejarah dan rehabilitasi korban Peristiwa 1965.
“Saya tidak bisa mengharapkan apa-apa ya.. karena selama ini banyak suara-suara yang sumbang ya terhadap kinerja presiden. Sebagai negarawan dia sepertinya kurang mampu. Kita berharap bahwa nanti anak-anak muda yang mengelola republik ini menjadi lebih berkualitas. Dan bisa membuat masyarakat Indonesia lebih beradab,” ujar Gumelar.