Ditemui VOA di sebuah kantor Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah di Yogyakarta, ibu muda keturunan Tionghoa memilih tidak banyak bicara soal transaksi tanah yang dia lakukan. Bersama suaminya, yang berbisnis toko makanan hewan peliharaan, dia hendak membeli tanah tak jauh dari rumahnya. Uniknya, status tanah yang sebelumnya hak milik itu, harus diubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) selama transaksi terjadi. “Ya, begitulah. Mau bagaimana lagi, diikuti dulu saja,” ujarnya menjawab pertanyaan VOA.
Bagi warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta, masalah tanah memang sensitif. Apalagi jika dikaitkan dengan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Non-pribumi di DIY.
Namun, tidak semua memilih diam atas aturan itu. Handoko, pengacara Tionghoa, pada 7 September 2017 menggugat keputusan itu. Lima bulan bersidang di PN Yogyakarta, Handoko kalah dalam Sidang Putusan pada 20 Februari 2018 lalu.
“Setelah gugatan itu, sekarang malah muncul ujaran kebencian dan isu-isu kerusuhan. Kemudian saya seolah malah disalahkan. Tapi juga banyak yang mendukung. Saya katakan, saya tidak menggugat atas nama komunitas. Saya menggugat atas nama pribadi,” kata Handoko yang dihubungi VOA dalam perjalanan ke Jakarta.
Menurut Handoko, banyak warga Tionghoa yang mendukung langkahnya, namun tidak berani mengungkapkan secara terbuka. Dukungan itu memang tidak mudah, karena membawa risiko. Namun bagi Handoko, aturan itu harus tetap dilawan apapun alasannya. Karena itulah, dia mengajukan banding atas keputusan PN Yogyakarta.
“Kemarin banding baru saja ajukan, karena menurut saya keputusan PN Yogya itu keliru. Tidak sesuai asas pemerintahan yang baik. Di putusan itu dasarnya katanya asas pemerintahan yang baik, saya katakan tidak, diskriminasi kok jadi dasar asas pemerintahan yang baik. Kalau alasannya melindungi yang lemah kok dikaitkan dengan ras, memangnya tidak ada yang miskin itu orang keturunan,” jelasnya.
Gugatan Handoko bukan yang pertama. Budi Setyagraha, pengusaha Tionghoa Muslim, juga pernah menggugat kebijakan itu pada tahun 2001. Budi sempat menang di Pengadilan Negeri, tetapi kemudian kalah di Mahkamah Agung.
Penggugat lain, Willie Sebastian dan Ong Ko Eng mencoba menggugat dalam dua upaya hukum terpisah, tetapi kemudian juga kalah. Handoko sendiri tidak yakin atas upayanya, tetapi dia menegaskan akan terus melakukan upaya hukum.
Baca juga: Etnis Tionghoa Masih Dilarang Miliki Tanah di Yogyakarta
Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Prof Djoko Suryo memaparkan, naik turun hubungan penguasa Kasultanan dengan komunitas Tionghoa sudah muncul sejak lama.
Di jaman penjajahan Belanda, para pedagang Cina dianggap lebih dekat dengan penguasa. Ketika terjadi perlawanan rakyat, kelompok Tionghoa yang mayoritas saudagar turut dimusuhi. Di era itu, warga Tionghoa juga tidak diperbolehkan memiliki tanah di kawasan pedesaan. Djoko Suryo menyatakan, banyak kajian mendukung klaim tersebut.
“Itulah salah satu bagian sejarah yang membuat pembatasan kepemilikan itu berkelanjutan,” kata Djoko Suryo.
Sejarah memang mencatat, adanya Prasasti Ngejaman tidak jauh dari pintu masuk Keraton Yogyakarta. Di masa revolusi, komunitas Tionghoa kurang menunjukkan dukungan dalam perang melawan Belanda, bahkan ingin meninggalkan Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memberi ultimatum kepada warga Tionghoa, jika pergi di tengah rakyat yang berperang, maka selamanya mereka tidak boleh kembali ke Yogya. Warga Tionghoa kemudian memilih tetap tinggal, dan mereka menghadiahkan jam yang dipasang di dekat Keraton sebagai tanda terima kasih.
Hubungan kurang harmonis berlanjut di Era Orde Baru, ketika Soeharto memberikan banyak fasilitas kepada pengusaha Tionghoa. Sultan yang melihat itu, ingin mengambil langkah antisipasi. Karena itulah, kata Djoko Suryo, larangan itu dikeluarkan pada 1975.
“Sebetulnya itu dari masa awal Orde Baru, dengan banyak pembebasan tanah dan pembangunan terjadi, akhirnya golongan pribumi tersingkir, yang di depan orang Cina. Karena yang menduduki posisi tanah perkotaan untuk perdagangan kebanyakan orang Cina yang lebih mampu dan punya modal kuat. Dulu ada istilah Ali-Baba, dalam soal penguasaan ekonomi. Ini memberi kesan bagi daerah untuk lebih berhati-hati dalam pemerataan,” jelas Djoko Suryo.
Ali-Baba adalah program ekonomi yang menyandingkan pengusaha pribumi (Ali) dan keturunan (Baba) agar saling belajar. Konsep ini diperkenalkan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo di pertengahan tahun 1950-an.
Djoko Suryo memandang larangan ini posisinya sama dengan penerapan Syariat Islam di Aceh. Sebagai dua daerah dengan status istimewa, Yogyakarta dan Aceh memiliki perbedaan dengan sejumlah aturan nasional.
Kus Sri Antoro, peneliti dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris mengatakan, KOMNAS HAM pada 2014 dan 2015 lalu telah memberikan rekomendasi pada Gubernur DIY untuk mencabut atau menyatakan Instruksi 1975 tersebut tidak berlaku.
Larangan itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945, UU No 5 th 1960, UU 39 th 1999 dan UU No 40 th 2008. Namun rekomendasi KOMNAS HAM ini belum dilaksanakan oleh Gubernur DIY. Pada 2018, kata Kus Sri, Ombudsman Republik Indonesia juga sudah menyatakan bahwa pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 adalah mal-administrasi oleh BPN.
“Handoko ini berstatus WNI bukan WNA, istilah WNI Non Pribumi atau WNI Keturunan Asing baik itu Tionghoa, India, Arab, Jepang, atau Belanda itu tidak dikenal dalam UU Kewarganegaraan yang sah dan berlaku di NKRI. Lagipula penggunaan istilah Non Pribumi/Pribumi sudah dilarang lewat Inpres Nomor 26 tahun 1998 demi menegakkan Persatuan Indonesia,” kata Kus Sri Antoro.
Kus Sri juga menambahkan, setiap WNI berhak mempunyai tanah tanpa dibedakan suku, ras, agama dan gender. Pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah oleh individu maupun badan hukum sudah diatur dalam UU No 5 th 1960 pasal 7 dan 17 dengan dasar kelas sosial bukan etnisitas.
Your browser doesn’t support HTML5
Pembatasan hak dengan dasar kelas sosial ini kata Kus Sri, adalah affirmative action, sedangkan pembatasan hak dengan dasar etnisitas atau ras adalah diskriminasi.
Sementara itu, Ketua Komisi A DPRD DIY yang membidangi masalah politik dan pertanahan, Eko Suwanto berujar, pertanahan merupakan salah satu urusan keistimewaan DIY. Hak itu dijamin UUD 1945, UU 13 Tahun 2012 yang tidak bertentangan dengan UU Pokok Agraria, Perdais 1 Tahun 2017, dan Pergub nomor 33, 34, serta 35 Tahun 2017.
“Kita lihat dulu putusan pengadilan akhir nanti, selanjutnya kita pelajari dan kaji dengan sebaik baiknya. Pada prinsipnya kita ajak semua pihak untuk menghormati bahwa Indonesia adalah negara hukum yang oleh karenanya, kita wajib berpegang teguh pada proses hukum yang ada,” ujar Eko. [ns/ab]