Keputusan Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satu pusat kebudayaan Indonesia, untuk mempertahankan peraturan yang melarang etnis Tionghoa Indonesia memiliki tanah telah menimbulkan kembali klaim praktik yang diskriminatif dan tidak konstitutional.
Daerah itu, di tengah pulau Jawa, telah menetapkan sejak tahun 1975 bahwa hanya pribumi Indonesia dapat memiliki tanah, walaupun ini bertentangan dengan Undang-Undang Agraria Indonesia sebelumnya yang mengatakan setiap warga Indonesia dapat memiliki tanah di Indonesia.
Keputusan itu menyelesaikan kasus pengadilan yang diajukan oleh seorang warga Indonesia keturunan Tionghoa yang bernama Handoko menentang Pemerintah Daerah Yogyakarta, dan mengklaim kebijakan itu diskriminatif. Ia diperintahkan membayar denda 350 ribu rupiah.
Seorang pejabat pertanahan daerah itu, Suyitno, mengatakan kepada Tirto tahun lalu bahwa kebijakan kepemilikan tanah itu akan meratakan distribusi kekayaan dan tanah yang ia klaim sangat didominasi etnis Tionghoa.
Klaim tersebut popular di Indonesia, di mana banyak warganya yang terkaya adalah etnis Tionghoa, tetapi juga di mana warga Indonesia keturunan Tionghoa kadang-kadang menghadapi kekerasan brutal.
Para aktivis mengecam keputusan meneruskan larangan terhadap kaum Tionghoa Indonesia untuk memiliki tanah. [gp]