Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan hal yang memilukan. Betapa tidak, rumah yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman, saling berbagi cinta dan saling menghormati, telah berubah.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ini memang mendapatkan sorotan dari berbagai kalangan. Di Amerika Serikat, contohnya, Presiden Donald Trump menyatakan Oktober 2019 telah ditetapkan sebagai Bulan Kesadaran Dalam Rumah Tangga nasional. Trump menyerukan kepada semua orang Amerika untuk berdiri teguh dalam mengutuk kekerasan dalam rumah tangga dan mendukung mereka yang selamat dari kejahatan ini.
Di Indonesia, jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga cukup tinggi. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019, kasus kekerasan terhadap perempuan paling tinggi terjadi di ranah privat atau personal. Angka kekerasan terhadap istri yakni 5.114 kasus.
Kekerasan terhadap perempuan di antaranya disebabkan budaya dan nilai-nilai masyarakat yang dibentuk oleh kekuatan patriarki di mana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan.
Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) Budi Wahyuni mengatakan rata-rata kasus kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak diselesaikan dengan cara memilih bercerai daripada memidanakan.
BACA JUGA: Kekerasan Perempuan di Ranah Domestik TertinggiHal tersebut tambahnya lebih dikarenakan perempuan korban KDRT merasa tabu dengan melaporkan suaminya sendiri kepada kepolisian. Korban memilih bercerai karena itu dianggap jalan yang cepat dan mudah. Perceraian menurut Wahyuni dianggap alternatif yang gampang untuk memutus mata rantai kekerasan.
Selain itu pertimbangan lainnya adalah proses untuk mendapatkan keadilan tidak mudah seperti harus mengumpulkan bukti-bukti (visum) dan mendatangkan saksi. Korban, kata Wahyuni, juga memikirkan anak. Misalnya, bagaimana reaksi anak bila ayahnya masuk penjara karena gugatan KDRT, ujar Wahyuni.
“Perempuan ini benar-benar pertimbangannya yang boleh jadi bukan pertimbangan objektif tetapi lebih subjektif. Itulah konstruksi gendernya. Perempuan mengalah, bagian dari prihatin, bagian dari proses ujian dan diyakini kesabaran akan membuahkan hasil,” kata Wahyuni.
Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Siti Mazuma, menilai penanganan kasus KDRT cenderung lambat karena sering ada upaya mediasi antara korban dan pelaku. Kendala kasus tidak berjalan selain karena polisi lamban juga alasan korban masih cinta dan tidak tega kalau suaminya di penjara.
Korban lanjutnya sering dianggap mencemarkan aib keluarga dan suaminya sehingga korban sering mencabut laporan karena tekanan seperti ini.
Menurut Mazuma, pemulihan terhadap korban KDRT sangat penting dilakukan, selain dukungan dari lembaga pendamping korban melalui pendampingan hukum dan konseling pemulihan psikologi, dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar juga membuat korban cepat pulih.
Your browser doesn’t support HTML5
Indonesia lanjutnya sebenarnya sudah mempunyai aturan hukum yang lengkap, bagaimana korban mendapatkan hak-haknya termasuk diantaranya pemulihan psikologi mereka. Hal tersebut diatur dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dari kasus-kasus KDRT yang ada menurut Mazuma tidak banyak yang sampai ke pengadilan. Dia juga menyayangkan hakim dalam memvonis pelaku KDRT tidak memberikan pidana tambahan berupa konseling kepada pelaku.
Padahal, kata Mazuma, konseling kepada pelaku itu penting karena banyak pelaku-pelaku KDRT tidak paham apa yang dia lakukan adalah tindakan pidana.
“Selain menghukum secara penjara, penting juga majelis hakim itu memberikan pidana tambahan agar pelaku memahami bagaimana mengelola emosinya, bagaimana memperlakukan pasangannya dengan baik tidak melakukan pemukulan” ujar Mazuma.
Pemerintah sebenarnya telah menyediakan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang merupakan kegiatan terpadu yang menyediakan pelayanan bagi perempuan dan anak korban tindak kekerasan. Hal tersebut meliputi pelayanan medis, pelayanan hukum, pelayanan psikis dan pelayanan rehabilitasi sosial. Lembaga ini ditangani oleh pemerintah daerah.
P2TP2A harusnya berada di seluruh kabupaten kota namun Mazuma belum bisa memastikan apakah semua lembaga tersebut sudah menjalankan mandatnya dengan baik atau tidak. Dia memastikan bahwa P2TP2A yang berada di Jakarta dan Nangroe Aceh Darussalam sudah menjalankan tugasnya secara baik.
Ali Khasan, asisten deputi perlindungan hak perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengatakan KDRT adalah masalah serius yang harus ditangani.
Menurutnya KDRT saat ini telah menjadi urusan publik sejak diatur dalam Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kementeriannya, lanjut Ali, tengah mengembangkan model desa dan kelurahan yang bebas KDRT. Desa atau kelurahan yang menjadi model diharapkan bisa menjadi contoh bagi desa dan kelurahan lainnya di seluruh Indonesia.
BACA JUGA: Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia Maya Setiap Tahun MeningkatSelain itu Kementeriannya juga melakukan gerakan bersama stop KDRT di sejumlah wilayah di Indonesia sebagai upaya mengantisipasi kekerasan yang berkembang dan mengancam keluarga Indonesia.
Dia juga meminta pemerintah daerah agar menangani persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan serius. Sebab, dampak yang ditimbulkannya sangat berimbas pada anak-anak di kemudian hari.
“Stop KDRT yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Ada sosialisasi, pencegahan KDRT sejak dini. Pelatihan terhadap penegak hukum untuk menyamakan persepsi terkait pentingnya memberikan perlindungan terhadap korban KDRT,” ujar Ali.
Ia menyampaikan setiap korban KDRT berhak mendapatkan pendampingan yang juga harus terpadu dengan tetap mengacu pada hak, kepentingan terbaik bagi korban dan tanpa diskriminasi.
Hak-hak korban berupa memperoleh perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian atau pihak lain, pelayanan kesehatan, penanganan secara khusus dan pendampingan khusus oleh pekerja sosial atau lembaga. [fw/ft]