Ratusan warga korban lumpur di Porong, Sidoarjo, melakukan aksi memperingati tujuh tahun semburan lumpur dan menuntut janji ganti rugi.
SIDOARJO —
Ratusan warga korban lumpur di Porong dan sekitarnya memperingati tujuh tahun terjadinya semburan lumpur dengan melakukan aksi Rabu (29/5), diantaranya dengan melarung boneka atau ogoh-ogoh berbentuk seperti pemilik perusahaan Lapindo Brantas Aburizal Bakrie ke dalam kolam lumpur.
Korban lumpur juga mendirikan Monumen Tragedi Lumpur Lapindo untuk mengingatkan para pemimpin bangsa dan juga Lapindo Brantas, bahwa ada masyarakat korban lumpur yang dilupakan keberadaanya.
Perwakilan warga korban lumpur Lapindo, Rokhim mengatakan, aksi keprihatinan ini ingin menggugat kejahatan kemanusiaan yang disebabkan oleh aktivitas industrial, yang justru dilindungi oleh pemerintah.
“Ogoh-ogoh raksasa Bakrie adalah simbol, bahwa ini nanti dibuang ke lumpur, biar seluruh warga Indonesia tahu, bahwa Aburizal Bakrie sudah menginjak-injak, membunuh warga wilayah Porong,” ujarnya.
Sutiana, warga Desa Jatirejo, Porong, mengaku putus asa menanti pembayaran ganti rugi, yang selalu dijanjikan Lapindo namun tidak kunjung ditepati.
“Yang terakhir ini, 15, 10, 5 (juta), terus prei (berhenti). Prei ini sudah enam bulan. Sebetulnya kurang 287 (juta), ya ingin diminta semua aja. Sudah setahun dulu preinya, terus sekarang ini sudah enam bulan tidak dibayar,” ujarnya.
Tidak jelasnya persoalan pembayaran ganti rugi juga dialami Rini, warga Desa Jatirejo, Porong, yang terpaksa mendirikan gubuk untuk tempat tinggal di atas bibir tanggul kolam penampungan lumpur, meski harus hidup dalam ancaman lumpur serta dampak yang ditimbulkannya.
“Ya itu sama Kepolisian itu, kan nggak boleh di sini katanya, mengganggu pekerja katanya. Padahal di sini masih haknya warga, belum ada pelunasan sampai kebayar. Tujuh tahun belum kebayar, mau kontrak nggak punya uang,” ujarnya.
Sebelumnya, PT Lapindo menyepakati pembayaran ganti rugi secara bertahap kepada warga hingga akhir tahun ini. Total hutang PT Lapindo kepada warga korban, mencapai Rp 950 miliar.
Korban lumpur juga mendirikan Monumen Tragedi Lumpur Lapindo untuk mengingatkan para pemimpin bangsa dan juga Lapindo Brantas, bahwa ada masyarakat korban lumpur yang dilupakan keberadaanya.
Perwakilan warga korban lumpur Lapindo, Rokhim mengatakan, aksi keprihatinan ini ingin menggugat kejahatan kemanusiaan yang disebabkan oleh aktivitas industrial, yang justru dilindungi oleh pemerintah.
“Ogoh-ogoh raksasa Bakrie adalah simbol, bahwa ini nanti dibuang ke lumpur, biar seluruh warga Indonesia tahu, bahwa Aburizal Bakrie sudah menginjak-injak, membunuh warga wilayah Porong,” ujarnya.
Sutiana, warga Desa Jatirejo, Porong, mengaku putus asa menanti pembayaran ganti rugi, yang selalu dijanjikan Lapindo namun tidak kunjung ditepati.
“Yang terakhir ini, 15, 10, 5 (juta), terus prei (berhenti). Prei ini sudah enam bulan. Sebetulnya kurang 287 (juta), ya ingin diminta semua aja. Sudah setahun dulu preinya, terus sekarang ini sudah enam bulan tidak dibayar,” ujarnya.
Tidak jelasnya persoalan pembayaran ganti rugi juga dialami Rini, warga Desa Jatirejo, Porong, yang terpaksa mendirikan gubuk untuk tempat tinggal di atas bibir tanggul kolam penampungan lumpur, meski harus hidup dalam ancaman lumpur serta dampak yang ditimbulkannya.
“Ya itu sama Kepolisian itu, kan nggak boleh di sini katanya, mengganggu pekerja katanya. Padahal di sini masih haknya warga, belum ada pelunasan sampai kebayar. Tujuh tahun belum kebayar, mau kontrak nggak punya uang,” ujarnya.
Sebelumnya, PT Lapindo menyepakati pembayaran ganti rugi secara bertahap kepada warga hingga akhir tahun ini. Total hutang PT Lapindo kepada warga korban, mencapai Rp 950 miliar.