Korban Pemboman Kedutaan AS di Nairobi Tahun 1998 Keluhkan Perbedaan Kompensasi

Pemboman Kedutaan Besar AS di Nairobi. Kenya tahun 1998 (foto: dok).

Doreen Oport sedang istirahat minum teh ketika mendengar ledakan. Ia sudah 15 tahun menjadi karyawan di Kedutaan Besar AS di Nairobi pada tahun 1998. Oport mengatakan awalnya ia tidak terganggu dengan suara ledakan tersebut. Ia mengira suara tersebut berasal dari ban yang pecah di jalan yang sibuk.

Beberapa saat kemudian ia merasakan kekuatan ledakan di dekatnya. Ia kemudian mengetahui suara pertama yang didengarnya adalah granat yang dilempar ke penjaga di luar kedutaan. Suara kedua adalah truk yang sarat dengan bahan peledak.

"Kami semua tersungkur, kedutaan menjadi gelap," kata Oport kepada VOA. “Dan kami terperangkap puing-puing lantai kedutaan, batu bata atau apa pun yang berasal dari atap dan jeruji besi dan kami terperangkap di sana selama berjam-jam. Kemudian kami mulai mendengar beberapa suara seperti orang-orang berlari dan menangis."

Serangan yang hampir bersamaan terhadap kedutaan besar AS di Kenya dan Tanzania pada 7 Agustus 1998, menewaskan 224 orang dan melukai lebih dari 5.000 orang. Serangan itu diatur oleh Osama bin Laden dan dieksekusi oleh mata-mata al-Qaida, sebagian besar bersembunyi di Sudan.

Awal tahun ini muncul rincian dana kompensasi $335 juta untuk korban serangan seperti Oport dan keluarga mereka.

Tetapi Oport, yang pindah ke AS dan menjadi warga negara Amerika, kecewa setelah mengetahui detail rencana kompensasi tersebut. Ia mengetahui bahwa orang-orang seperti dirinya yang menjadi warga negara lewat naturalisasi setelah serangan itu, bisa menerima beberapa ratus ribu dolar, tetapi orang yang menjadi warga negara pada saat penyerangan itu menerima jutaan dolar.

“Saya kira tidak adil ketika mereka ingin membuat kami merasa lebih rendah dari orang Amerika,” kata Oport. “Ini pada dasarnya menetapkan nilai kehidupan manusia, baik orang Amerika maupun Kenya ... padahal sebenarnya jika bukan karena Warga asing yang melakukan pekerjaan, maka kedutaan atau konsulat ini tidak akan berfungsi. Pekerjaan terus berlanjut. Kehidupan manusia seharusnya tidak dinilai, siapa mendapatkan apa dan siapa yang tidak mendapatkan apa. Kita semua sama."

Dana tersebut merupakan bagian dari kesepakatan antara AS dan Sudan. Kompensasi ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung AS bulan Mei yang menyatakan bahwa Sudan bertanggung jawab atas serangan tersebut karena pemerintahnya menyembunyikan militan al-Qaida dan mengizinkan mereka untuk mengangkut uang dan senjata melintasi perbatasan ke Kenya.

Sudan berusaha untuk menormalisasi hubungan dengan AS setelah pemimpin lamanya Omar al-Bashir digulingkan, dan kompensasi korban adalah bagian penting dari proses normalisasi.

Departemen Luar Negeri mengatakan pihaknya telah mendesak kompensasi bagi korban asing, yang berbeda dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya. "Ini telah menjadi prioritas tinggi bagi pemerintah AS, mengingat warga negara asing ini adalah karyawan dan kontraktor kita," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS dalam emailnya kepada VOA. [my/jm]