Pihak oposisi Korea Selatan mengatakan sanksi perdagangan itu ternyata merugikan Korea Selatan.
SEOUL —
Korea Selatan mengatakan negara itu sedang mempertimbangkan akan mencabut sanksi terhadap Korea Utara yang diberlakukan setelah Korea Utara menenggelamkan kapal perang Korea Selatan.
Pejabat tinggi Korea Selatan bidang hubungan dengan Korea Utara mengatakan, pemerintah Korea Selatan sedang mempertimbangkan pencabutan sanksi ekonomi yang telah berlangsung dua setengah tahun terhadap Korea Utara.
Sanksi yang terkenal dengan nama “Sanksi 24 Mei” itu melarang semua perdagangan dan investasi dengan Korea Utara, kecuali kerja sama di kompleks industri Kaesong, dimana produksi diperbolehkan tapi pengembangan dibatasi
Restriksi perdagangan dikenakan sebagai hukuman setelah muncul kemarahan publik karena penenggelaman Cheonnan, sebuah kapal perang Korea Selatan.
Korea Selatan menyalahkan kapal selam Korea Utara karena mentorpedo kapal itu, menewaskan 46 pelaut di kapal itu.
Tetapi pada Jumat (1/11), Menteri Unifikasi Korea Selatan, Ryoo Kihl-jae mengatakan, pemerintah Korea Selatan mempertimbangkan kemungkinan pencabutan sanksi tersebut.
Menurutnya, opini masyarakat mengenai pencabutan sanksi 24 Mei itu terpecah. Katanya, sebuah keputusan besar oleh pemerintah akan dipertimbangkan, tetapi mereka harus melihat situasinya dulu.
Ryoo menyampaikan komentar itu dalam kesaksian di depan parlemen Korea Selatan, atau Dewan Nasional.
Jung Cheong-rae , seorang wakil Partai Demokrat meminta agar sanksi pembatasan perdagangan terhadap Korea Utara dicabut. Ia mengatakan kepada anggota Dewan Nasional, restriksi itu telah menyebabkan kerugian ekonomi Korea Selatan.
Sanksi 24 Mei itu, ujar Jung, mengakibatkan kerugian hampir US$9 milyar untuk Korea Selatan, dan kerugian di pihak Korea Utara diperhitungkan sebesar $2,25 milyar. Jadi, menurutnya, kerugian bagi Korea Selatan empat kali lebih besar dibanding kerugian Korea Utara.
Jung merujuk pada laporan lembaga riset Hyundai Research Institute. Partai Demokrat mendukung perdagangan dan hubungan dengan Korea Utara dan menjadi pengecam utama sanksi tersebut.
Perusahaan-perusahaan Korea Selatan mengatakan, absennya mereka memungkinkan perusahaan-perusahaan China mengambil alih proyek-proyek yang mereka tinggalkan.
Pejabat tinggi Korea Selatan bidang hubungan dengan Korea Utara mengatakan, pemerintah Korea Selatan sedang mempertimbangkan pencabutan sanksi ekonomi yang telah berlangsung dua setengah tahun terhadap Korea Utara.
Sanksi yang terkenal dengan nama “Sanksi 24 Mei” itu melarang semua perdagangan dan investasi dengan Korea Utara, kecuali kerja sama di kompleks industri Kaesong, dimana produksi diperbolehkan tapi pengembangan dibatasi
Restriksi perdagangan dikenakan sebagai hukuman setelah muncul kemarahan publik karena penenggelaman Cheonnan, sebuah kapal perang Korea Selatan.
Korea Selatan menyalahkan kapal selam Korea Utara karena mentorpedo kapal itu, menewaskan 46 pelaut di kapal itu.
Tetapi pada Jumat (1/11), Menteri Unifikasi Korea Selatan, Ryoo Kihl-jae mengatakan, pemerintah Korea Selatan mempertimbangkan kemungkinan pencabutan sanksi tersebut.
Menurutnya, opini masyarakat mengenai pencabutan sanksi 24 Mei itu terpecah. Katanya, sebuah keputusan besar oleh pemerintah akan dipertimbangkan, tetapi mereka harus melihat situasinya dulu.
Ryoo menyampaikan komentar itu dalam kesaksian di depan parlemen Korea Selatan, atau Dewan Nasional.
Jung Cheong-rae , seorang wakil Partai Demokrat meminta agar sanksi pembatasan perdagangan terhadap Korea Utara dicabut. Ia mengatakan kepada anggota Dewan Nasional, restriksi itu telah menyebabkan kerugian ekonomi Korea Selatan.
Sanksi 24 Mei itu, ujar Jung, mengakibatkan kerugian hampir US$9 milyar untuk Korea Selatan, dan kerugian di pihak Korea Utara diperhitungkan sebesar $2,25 milyar. Jadi, menurutnya, kerugian bagi Korea Selatan empat kali lebih besar dibanding kerugian Korea Utara.
Jung merujuk pada laporan lembaga riset Hyundai Research Institute. Partai Demokrat mendukung perdagangan dan hubungan dengan Korea Utara dan menjadi pengecam utama sanksi tersebut.
Perusahaan-perusahaan Korea Selatan mengatakan, absennya mereka memungkinkan perusahaan-perusahaan China mengambil alih proyek-proyek yang mereka tinggalkan.