Mardi, warga Kebumen menceritakan kepada VOA, bahwa para tetangganya masing-masing menerima uang Rp 35 ribu dalam pemilihan kepala daerah di kabupaten itu pada 2015 lalu. Namun dia tidak mau mengaku dari pasangan calon mana uang itu datang.
Warga desa tetangganya, kata Mardi, ada pula yang menjual suaranya secara berkelompok dan menerima paket bantuan semen untuk memperbaiki jalan kampung. “Semua calon ya ngasih, kalau nggak ngasih ya jelas nggak dipilih,” ujarnya kepada VOA.
Biaya membeli suara semacam itu membebani para calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada. Belum lagi soal mahar yang diminta partai pendukung. Akibatnya, untuk menutup biaya, banyak kepala daerah meminta setoran dari proyek-proyek yang diselenggarakan di daerahnya, setelah mereka menjabat. Kasus semacam ini, juga menimpa Bupati Kebumen, Jawa Tengah, M Yahya Fuad.
Hari Senin malam (19/2), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Bupati Kebumen, Yahya Fuad, dalam kasus dugaan penerimaan fee proyek dengan total nilai Rp 2,3 miliar. Yahya sudah ditetapkan menjadi tersangka pada 23 Januari 2018 lalu.
KPK mengendus kasus ini, sebagai pengembangan kasus korupsi lain yang dilakukan Sekretaris Daerah Kebumen, Adi Pandoyo. Adi menerima uang Rp 3,75 miliar dari kontraktor proyek bernama Khayub Muhammad Lutfi. Uniknya, Khayub adalah musuh Yahya Fuad dalam Pilkada 2015 lalu. Kasus ini juga menjadi bukti, bahwa calon-calon yang sebelumnya bersaing, dapat bekerja sama erat dalam melakukan korupsi usai Pilkada berlangsung.
Wakil Bupati Kebumen, Yazid Mahfud juga menerima mobil dari para kontraktor proyek. Barang buktinya telah disita, namun nasib Yazid belum diputuskan KPK hingga hari ini.
Selain memberikan uang kepada Sekda Kebumen, Khayub juga menyerahkan uang kepada Hojin Anshori. Hojin adalah anggota tim sukses Yahya Fuad selama proses Pilkada, dan bertugas mengelola dana potongan proyek itu. Para anggota tim sukses kepala daerah, dalam banyak kasus, mendapat posisi di pemerintahan bilacalon mereka dukung menjabat, sebagai tanda terima kasih. Tentu saja, ada uang dalam semua hubungan itu.
Menurut aktivis hukum, Dr Teguh Purnomo, lingkaran korupsi ini terjadi karena sejumlah faktor. Salah satu yang dominan adalah biaya politik dalam pencalonan kepala daerah yang tinggi. Teguh adalah mantan komisioner Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah, yang baru saja menyelesaikan tugas akhir tahun lalu.
Namun, apa yang terjadi selama Pilkada Kebumen 2015, masih masuk dalam radar pengawasannya karena waktu itu, dia menjabat sebagai komisioner aktif di Bawaslu. Kasus ini juga menarik perhatiannya secara pribadi, karena Teguh sendiri warga Kebumen.
“Tidak hanya di Kebumen ya, dugaan atas praktik semacam ini juga ada di kebupaten lain selama Pilkada serentak 2015. Peraturan politik uang memang ada, tetapi hukum acaranya tidak terlalu jelas. Sehingga mereka yang melakukan itu sulit diproses lebih lanjut secara hukum,” kata Teguh yang juga pengacara dan dosen di perguruan tinggi di Jawa Tengah.
Yahya Fuad menambah panjang daftar kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. KPK dan Kepolisian berulangkali melakukan penangkapan, tetapi nampaknya tidak menimbulkan efek jera. MenurutTeguh, banyak kepala daerah tidak takut mengambil duit rakyat karena mereka yakin itu hanyalah persoalan nasib.
“Mereka melihat resiko itu berlaku hanya kepada mereka yang apes. Kepala daerah itu hampir semua melakukan itu (korupsi), tetapi yang tertangkap dan diproses hukum itu tidak ada sepertiganya. Nah, yang sepertiga itu dianggap apes saja. Siapa tahu, mereka tidak masuk golongan apes dan karenanya tetap melakukan korupsi,” kata Teguh Purnomo.
Dalam dua pekan terakhir, ada empat kepala daerah terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Gejala ini mendorong KPK memperkuat tim koordinasi dan supervisi di seluruh provinsi. Dalam keterangan kepada media di Jakarta, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menegaskan lembaganya menginginkan sebuah proses pemilihan kepada daerah yang bersih dari korupsi. "Kami usahakan bagaimana Pilkada dapat berjalan sebersih mungkin, tim koordinasi dan supervisi kita ini sudah ada di daerah," kata Basaria Panjaitan.
Langkah ini semakin penting, karena empat kepala daerah yang baru saja tertangkap, adalah mereka yang mencalonkan diri kembali. KPK menduga, uang korupsi akan dipakai untuk biaya selama proses Pilkada.
Baca juga: Pilkada Serentak 2018: Calon Tunggal, Netralitas PNS Hingga Calon Terjerat OTT KPK
Hingga saat ini, setidaknya sudah ada delapan kepala daerah yang akan mencalonkan diri kembali dalam Pilkada serentak 2018, yang ditangkap KPK karena menerima suap. Masuk dalam daftar ini adalah Bupati Subang, Imas Aryumningsih yang diduga menerima suap Rp 1,4 miliar. Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko dengan suap Rp 275 juta. Bupati Halmahera Timur, Rudi Erawan yang diduga menerima suap Rp 6,3 miliar. Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman yang Istrinya berencana maju dalam Pilkada setempat menerima gratifikasi Rp 2 miliar. Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari diduga menerima Rp 436 miliar. Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko yang istrinya akan maju menggantikan dirinya menerima suap Rp 500 juta. Wali Kota Tegal, Siti Masitha Soeparno diduga menerima fee proyek sekitar Rp 5,1 miliar. Serta Bupati Ngada, Marianus Sae yang ditangkap KPK Minggu, 11 Februari 2018 dan diduga menerima suap Rp 4,1 miliar.
Marianus Sae berencana maju sebagai calon Gubernur NTT tahun ini, dengan dukungan PDI P dan PKB. Gabriel Goa, Koordinator Koalisi Masyarakat Pemberatasan Korupsi (Kompak) NTT mendukung penuh langkah KPK melakukan pemberantasan korupsi di provinsi itu.
Baca juga: Bisnis Suara dan Mahalnya Ongkos Politik
Gabriel meyakinkan penegak hukum bahwa korupsi di NTT adalah kejahatan sistemik yang melibatkan seluruh pihak, mulai dari wakil rakyat, birokrasi hingga penegak hukum. Marianus Sae sendiri sudah lama dilaporkan oleh aktivis anti korupsi NTT dalam beberapa dugaan korupsi.
OTT yang dilakukan KPK menjadi langkah penting, karena menurut Gabriel, sudah saatnya lembaga pusat turun langsung. Gabriel menyebut korupsi yang dilakukan politisi lokal di NTT sebagai kejahatan kemanusiaan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Salah satu penyebab tidak adanya lapangan pekerjaan di NTT adalah kejahatan korupsi. Korupsi ini telah merampas hak-hak ekonomi rakyat NTT yang sebenarnya sudah dibantu oleh negara, tetapi kemudian dikorupsi. Dan, NTT itu sudah harus masuk darurat korupsi juga, karena korupsi itu dilakukan berjamaah. Bantuan sosial, bantuan bencana alam, bantuan nutrisi kesehatan dan sebagainya juga dikorupsi, bukan hanya infrastruktur saja,” jelas Gabriel.
Menurut Teguh Purnomo, sistem dalam proses pemilihan kepala daerah harus dibenahi. Partai tidak boleh meminta dana pencalonan, sanksi atas politik uang dilaksanakan dengan tegas dan masyarakat dididik untuk tidak menjual suara mereka. Tanpa semua itu, sistem yang rusak ini akan sulit dikembalikan ke jalur yang benar. [ns/ab]