Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendesak pemerintah Australia memberi ganti rugi pada anak-anak Indonesia yang pernah dipenjarakan dengan tuduhan keliru.
JAKARTA —
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak pemerintah Australia memberi ganti rugi kepada 23 anak Indonesia yang pernah ditahan di Australia sepanjang 2008 – 2011 atas tuduhan yang salah.
KPAI menilai pemerintah Australia bertanggung jawab atas sejumlah kerugian yang diderita anak-anak Indonesia tersebut lantaran proses hukum yang keliru yang mereka jalani.
Mereka menuntut pemerintah Australia membayar ganti rugi dan menyampaikan permintaan maaf atas pemenjaraan mereka karena tuduhan menyelundupkan manusia tersebut. Selain KPAI, desakan ini juga didukung oleh sejumlah organisasi pemerhati anak dan HAM lain di Indonesia.
Komisioner KPAI Apong Herlina mengatakan saat ini sudah ada perbaikan signifikan dari aparat pemerintah Australia dan Indonesia dalam menangani kasus penyelundupan manusia yang melibatkan anak di bawah umur. Meski demikian, hal tersebut tidak serta merta menggugurkan hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan ganti rugi, ujarnya.
“Bahwa ini adalah hak anak-anak untuk mendapatkan ganti rugi dan juga permintaan maaf dari pemerintah Australia atau pemerintah manapun kalau memang dia melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Ini perbaikan untuk ke depannya,” ujar Apong.
Data dari KPAI menunjukkan bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Australia menyebut sedikitnya ada 48 orang anak Indonesia di bawah umur yang berhak mendapat ganti rugi dari pemerintah Australia karena menjalani proses hukum yang keliru atas tuduhan kejahatan penyelundupan manusia. Namun sejauh ini, yang mengajukan gugatan ganti rugi hanya 23 orang anak saja.
Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang kerap dijadikan daerah pemberangkatan penyelundup ke Australia, seperti pesisir Jawa, Alor, Pulau Rote dan Kupang NTT.
Ke-23 orang anak Indonesia ini pernah menjalani masa tahanan beragam di sejumlah penjara di Australia, mulai dari enam bulan hingga lebih dari satu tahun. Mereka dituduh menjadi bagian dari sindikat penyelundup manusia ke Australia setelah tertangkap petugas patroli berada dalam kapal yang mengangkut penyelundup. Padahal faktanya, anak-anak tersebut adalah korban bujuk rayu mafia penyelundup dan diiming-imingi upah besar untuk bekerja sebagai anak buah kapal.
Kasus gugatan ganti rugi ke-23 anak Indonesia ini ditangani oleh pengacara publik diAustralia. Menurut Lisa Hiariej, perwakilan dari kantor pengacara yang ditunjuk anak-anak Indonesia itu, ke-23 anak indonesia itu sudah memberikan kuasa kepada kantor pengacara mereka.
Ia tidak menjelaskan besaran ganti rugi yang diminta anak-anak Indonesia yang diwakilinya. Meski demikian, menurut Hiariej, dalam gugatan ini pemerintah Australia dinilai bersalah karena tidak memperlakukan anak-anak Indonesia yang di bawah umur sebagaimana mestinya dan menempatkan banyak dari mereka di sel-sel orang dewasa sehingga mengalami banyak kerugian fisik maupun trauma.
“Mereka (pemerintah Australia) sudah salah memenjarakan, sudah bilang umur mereka itu di bawah 18 tahun tetapi mereka masih tetap di X-ray dan ternyata hasil dari X-ray itu adalah di atas 18 tahu. Dari pengacara-pengacara, bukti-bukti yang kuat dari akta kelahiran, rapor di sekolah, gereja menyatakan bahwa memang mereka dibawah umur. X-ray itu menunggu sekian lama, jadi dia (Australia) kasih masuk mereka ke penjara orang dewasa,” ujar Hiariej.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Tatang Razak mengatakan tahanan anak Indonesia menjadi salah satu isu penting dalam hubungan diplomatik Indonesia Australia.
Menurutnya, pemerintah kedua negara sudah menyusun prosedur khusus untuk menangani kasus penyelundupan manusia yang melibatkan anak dibawah umur agar proses hukumnya bisa dipercepat. Australia juga sepakat menghentikan penentuan usia anak melalui mekanisme X-ray.
Selain itu, untuk mencegah nelayan maupun anak-anak Indonesia menjadi korban sindikat penyelundup manusia, pemerintah, kata Tatang akan melakukan upaya sosialisasi bagi masyarakat di daerah-daerah pesisir Indonesia yang kerap menjadi titik pemberangkatan para imigran gelap menuju Pulau Christmas Australia.
“Jadi dari 2008 itu jumlahnya terus meningkat, mulai dari 20 terus jumlah meningkat menjadi 60 terus 100 lebih. Dari 2010 ke sini, jumlah anak-anak dibawah umur ini meningkat secara signifikan karena sistem hukum di Australia kalau terbukti dibawah umur itu mereka dibebaskan. Nah sindiktn ini menggunakan anak di bawah umur ini,” ujar Tatang.
Tatang menambahkan berdasarkan informasi yang diperolehnya dari pihak Australia, saat ini masih terdapat 34 anak Indonesia yang ditahan di berbagai penjara di Australia dalam kasus penyelundupan manusia.
KPAI menilai pemerintah Australia bertanggung jawab atas sejumlah kerugian yang diderita anak-anak Indonesia tersebut lantaran proses hukum yang keliru yang mereka jalani.
Mereka menuntut pemerintah Australia membayar ganti rugi dan menyampaikan permintaan maaf atas pemenjaraan mereka karena tuduhan menyelundupkan manusia tersebut. Selain KPAI, desakan ini juga didukung oleh sejumlah organisasi pemerhati anak dan HAM lain di Indonesia.
Komisioner KPAI Apong Herlina mengatakan saat ini sudah ada perbaikan signifikan dari aparat pemerintah Australia dan Indonesia dalam menangani kasus penyelundupan manusia yang melibatkan anak di bawah umur. Meski demikian, hal tersebut tidak serta merta menggugurkan hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan ganti rugi, ujarnya.
“Bahwa ini adalah hak anak-anak untuk mendapatkan ganti rugi dan juga permintaan maaf dari pemerintah Australia atau pemerintah manapun kalau memang dia melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Ini perbaikan untuk ke depannya,” ujar Apong.
Data dari KPAI menunjukkan bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Australia menyebut sedikitnya ada 48 orang anak Indonesia di bawah umur yang berhak mendapat ganti rugi dari pemerintah Australia karena menjalani proses hukum yang keliru atas tuduhan kejahatan penyelundupan manusia. Namun sejauh ini, yang mengajukan gugatan ganti rugi hanya 23 orang anak saja.
Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang kerap dijadikan daerah pemberangkatan penyelundup ke Australia, seperti pesisir Jawa, Alor, Pulau Rote dan Kupang NTT.
Ke-23 orang anak Indonesia ini pernah menjalani masa tahanan beragam di sejumlah penjara di Australia, mulai dari enam bulan hingga lebih dari satu tahun. Mereka dituduh menjadi bagian dari sindikat penyelundup manusia ke Australia setelah tertangkap petugas patroli berada dalam kapal yang mengangkut penyelundup. Padahal faktanya, anak-anak tersebut adalah korban bujuk rayu mafia penyelundup dan diiming-imingi upah besar untuk bekerja sebagai anak buah kapal.
Kasus gugatan ganti rugi ke-23 anak Indonesia ini ditangani oleh pengacara publik diAustralia. Menurut Lisa Hiariej, perwakilan dari kantor pengacara yang ditunjuk anak-anak Indonesia itu, ke-23 anak indonesia itu sudah memberikan kuasa kepada kantor pengacara mereka.
Ia tidak menjelaskan besaran ganti rugi yang diminta anak-anak Indonesia yang diwakilinya. Meski demikian, menurut Hiariej, dalam gugatan ini pemerintah Australia dinilai bersalah karena tidak memperlakukan anak-anak Indonesia yang di bawah umur sebagaimana mestinya dan menempatkan banyak dari mereka di sel-sel orang dewasa sehingga mengalami banyak kerugian fisik maupun trauma.
“Mereka (pemerintah Australia) sudah salah memenjarakan, sudah bilang umur mereka itu di bawah 18 tahun tetapi mereka masih tetap di X-ray dan ternyata hasil dari X-ray itu adalah di atas 18 tahu. Dari pengacara-pengacara, bukti-bukti yang kuat dari akta kelahiran, rapor di sekolah, gereja menyatakan bahwa memang mereka dibawah umur. X-ray itu menunggu sekian lama, jadi dia (Australia) kasih masuk mereka ke penjara orang dewasa,” ujar Hiariej.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Tatang Razak mengatakan tahanan anak Indonesia menjadi salah satu isu penting dalam hubungan diplomatik Indonesia Australia.
Menurutnya, pemerintah kedua negara sudah menyusun prosedur khusus untuk menangani kasus penyelundupan manusia yang melibatkan anak dibawah umur agar proses hukumnya bisa dipercepat. Australia juga sepakat menghentikan penentuan usia anak melalui mekanisme X-ray.
Selain itu, untuk mencegah nelayan maupun anak-anak Indonesia menjadi korban sindikat penyelundup manusia, pemerintah, kata Tatang akan melakukan upaya sosialisasi bagi masyarakat di daerah-daerah pesisir Indonesia yang kerap menjadi titik pemberangkatan para imigran gelap menuju Pulau Christmas Australia.
“Jadi dari 2008 itu jumlahnya terus meningkat, mulai dari 20 terus jumlah meningkat menjadi 60 terus 100 lebih. Dari 2010 ke sini, jumlah anak-anak dibawah umur ini meningkat secara signifikan karena sistem hukum di Australia kalau terbukti dibawah umur itu mereka dibebaskan. Nah sindiktn ini menggunakan anak di bawah umur ini,” ujar Tatang.
Tatang menambahkan berdasarkan informasi yang diperolehnya dari pihak Australia, saat ini masih terdapat 34 anak Indonesia yang ditahan di berbagai penjara di Australia dalam kasus penyelundupan manusia.