Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pada tahun 2021 merupakan periode yang sangat memprihatinkan karena maraknya kekerasan seksual di satuan pendidikan. Dalam catatan KPAI, sedikitnya 18 kasus kekerasan seksual telah terjadi di satuan pendidikan. Mirisnya, guru yang seharusnya berperan sebagai sosok pelindung di satuan pendidikan malah berubah menjadi predator seksual.
"Kalau kita berbicara pelaku adalah guru yang paling banyak dengan 55,5 persen (10 orang dari 18 kasus). Kalau kepala sekolah sekitar 22,22 persen (4 orang). Tapi aja juga pelaku lain seperti pengasuh di pondok pesantren, tokoh agama, dan pembina asrama," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti, Selasa (28/12).
Retno melanjutkan, dari 18 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, ada empat kasus yang terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kemendikbud Ristek. Sisanya, kasus kekerasan seksual terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama.
"Kasusnya paling banyak ada 14 kasus di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama," ujarnya.
Kekerasan di Boarding School Paling Banyak
Adapun lokasi kejadian kekerasan seksual itu tersebar di berbagai kota yang meliputi 17 kabupaten/kota pada 9 provinsi. Mayoritas kasus kekerasan seksual itu terjadi di satuan pendidikan berasrama atau boarding school yaitu sebanyak 12 kasus. Lalu, kekerasan seksual di satuan pendidikan yang tidak berasrama hanya 6 kasus. Sedangkan jumlah pelaku dari 18 kasus itu sebanyak 19 orang.
"Satu kasus itu pelakunya ada dua orang. Seluruh pelaku adalah laki-laki," ucap Retno.
Sementara yang menjadi korban kekerasan seksual itu terdiri dari anak laki-laki dan perempuan. Adapun total jumlah anak korban adalah 207 orang, dengan rincian 126 anak perempuan dan 71 anak laki-laki. Usia korban dari rentang 3 hingga 17 tahun.
BACA JUGA: Pesantren dan Sekolah Berasrama Harus Bersih Predator Anak"Kerentanan terjadi baik itu korban anak perempuan maupun laki-laki. Ini yang harus jadi perhatian para orang tua," ungkap Retno.
Kemudian, modus yang digunakan pelaku sangat beragam mulai dari mengiming-imingi korban mendapat nilai tinggi, ditawari bermain gim daring, meminta dipijat, mengeluarkan dalil-dalil yang harus patuh pada guru, hingga dalih terapi alat vital.
KPAI Dorong Kemenag Keluarkan Peraturan Tegas
Atas hal tersebut KPAI pun memberikan sejumlah rekomendasi terkait maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan. Pertama, KPAI mendorong Kementerian Agama memiliki peraturan seperti Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Aturan tersebut untuk memastikan adanya sistem pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan termasuk kekerasan seksual.
Selanjutnya, KPAI mendorong Kemendikbud Ristek dan Kementerian Agama untuk membangun sistem perlindungan berlapis terhadap peserta didik selama berada di lingkungan satuan pendidikan terutama pada sekolah berasrama. Peraturan itu juga harus disertai penanganan dan penindakan kepada para pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan.
Kemudian, KPAI mendorong Kemendikbud Ristek untuk menyosialisasikan secara massif Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 kepada dinas pendidikan di seluruh kabupaten/kota dan provinsi serta sekolah-sekolah. Pasalnya, masih cukup banyak sekolah yang belum tahu tentang aturan tersebut.
Lalu, KPAI mendorong dinas pendidikan dan Kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota maupun provinsi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan secara berkala terhadap sekolah, madrasah, dan pondok pesantren. Selain itu, portal-portal pengaduan kekerasan di satuan pendidikan harus banyak serta mudah diakses korban dan saksi.
KPAI juga mendorong satuan pendidikan harus berani mengakui dan mengumumkan adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan disertai permintaan maaf. Namun juga wajib melaporkan kepada pihak kepolisian agar pelaku di proses hukum sehingga ada efek jera dan tidak ada korban lagi di satuan pendidikan tersebut. Para orang tua pun diminta untuk memastikan keamanan lingkungan bagi anak-anaknya yang berada di satuan pendidikan seperti sekolah berasrama.
Your browser doesn’t support HTML5
Bukan hanya itu, KPAI mendorong media massa untuk melindungi dan menjaga kerahasiaan identitas anak-anak korban, saksi maupun pelaku di bawah umur dalam pemberitaan. Apalagi anak-anak korban kekerasan seksual sebagaimana sudah diatur dalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
"Rekomendasi itu pasti juga akan disampaikan ke presiden. Biasanya rekomendasi tidak hanya dari bidang pendidikan. Kami mendorong sistem pencegahan untuk melindungi anak-anak. Jangan sampai kita seperti memadamkan api ketika setiap ada kasus itu," pungkas Retno.
BACA JUGA: Glorifikasi Pelaku Kekerasan Seksual: Media atau Masyarakat yang Sakit?Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan
Sementara, Pelaksana tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud Ristek, Anang Ristanto, menyatakan pihaknya secara tegas mengecam tiga dosa besar di dunia pendidikan yaitu kekerasan seksual, intoleransi, dan perundungan.
"Bekerja sama dengan pemangku kepentingan terus berkomitmen untuk memberantas praktik-praktik tiga dosa besar di lingkungan pendidikan," katanya melalui keterangan resminya kepada VOA.
Anang mengatakan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Aturan itu juga diharapkan untuk menghindarkan semua warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan.
"Permendikbud ini juga mengatur sanksi yang bisa dikenakan terhadap tenaga pendidik, peserta didik yang melakukan tindakan kekerasan, atau hukuman terhadap satuan pendidikan dan kepala sekolah jika masih terdapat praktik kekerasan di lingkungan sekolahnya," tandasnya. [aa/em]