Komisi Penyiaran Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran KPI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadan. Salah satu poinnya berisi tentang penggunaan dai atau pendakwah yang tidak terkait organisasi terlarang. Namun, Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo mengatakan lembaganya tidak merinci organisasi terlarang yang dimaksud dalam surat edaran tersebut. Menurutnya, organisasi terlarang tersebut menjadi ranah pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia.
"Makanya di mana pun lembaga penyiaran itu berada ketika mencoba mencari pendakwah silakan berkoordinasi dengan MUI di kabupaten, kota dan provinsi," jelas Mulyo kepada VOA, Sabtu (27/3).
Poin tentang organisasi terlarang tersebut tercantum dalam Pasal 6 D yang berbunyi, "Mengutamakan penggunaan dai/pendakwah kompeten, kredibel, tidak terkait organisasi terlarang sebagaimana telah dinyatakan hukum di Indonesia, dan sesuai dengan standar MUI, serta dalam penyampaian materinya senantiasa menjunjung nilai-nilai Pancasila dan ke-Indonesiaan.
BACA JUGA: Netizen Indonesia Dinilai Tak Beradab, Pakar Serukan Pemerintah Atur Perusahaan MedsosMulyo menjelaskan aturan ini merupakan pengembangan MoU KPI dengan MUI dan Kementerian Agama pada tahun 2020 tentang konten-konten Islam. Menurut Mulyo, MoU dengan ormas MUI dilakukan karena lembaga tersebut dibentuk negara, berbeda dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang dibentuk masyarakat.
Kata dia, KPI hanya memiliki peran pengawasan terhadap konten penyiaran dalam MoU tersebut yang melanggar aturan penyiaran. Menurutnya, lembaga penyiaran yang melanggar ketentuan siaran akan mendapat sanksi mulai dari teguran hingga penghentian program siaran. Sanksi tersebut dapat berlanjut pada proses hukum jika ditemukan pelanggaran hukum seperti Pancasila.
"Kalau misalnya sudah sampai ke persoalan-persoalan yang sifatnya ideologi dan bertentangan dengan Pancasila dan NKRI tentu saja kami bisa saja juga akan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga itu. Dan ancamannya bisa pimpinan dan direktur perusahaan itu," tambahnya.
Mulyo menegaskan surat edaran ini tidak berkaitan dengan pemberitaan televisi atau radio. Namun, ia menyarankan juga pemberitaan media tidak memberikan ruang kepada orang yang melakukan provokasi terhadap orang lain.
Surat Edaran KPI Langgar Kebebasan Berekspresi?
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengkritisi surat edaran yang diterbitkan KPI menjelang Ramadan 2021. Menurutnya, aturan tentang organisasi terlarang tersebut dapat melanggar kebebasan berekspresi dan stigma terhadap seseorang. Sebagai contoh anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengalami stigma pasca peristiwa 1965. Kata Ade, KPI semestinya fokus pada ujaran kebencian kepada kelompok tertentu sehingga siapapun yang melanggar perlu diproses sesuai hukum.
"Harusnya surat edaran itu ke sana. Bagaimana pemerintah atau KPI bisa bergerak secara cepat ketika terdapat ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan kebijakan," jelas Ade Wahyudin kepada VOA, Minggu (29/3).
Ade juga sependapat lembaga penyiaran melakukan saringan terhadap narasumber yang berpotensi menyebarkan ujaran kebencian atau kekerasan yang dapat memicu konflik di masyarakat.
IJTI Yakin Surat Edaran KPI Tak Batasi Kegiatan Jurnalistik & Program
Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Indria Purnamahadi mengatakan lembaganya belum membahas secara mendalam tentang surat edaran tersebut. Ia juga berpandangan aturan tersebut tidak akan membatasi kegiatan jurnalistik wartawan di lapangan, namun program televisi.
"Ada yang penting yaitu dampak hasil tayangan kita. Apakah itu akan memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat," jelas Indria kepada VOA, Minggu (28/3/2021).
Your browser doesn’t support HTML5
Indria menambahkan lembaga penyiaran tempatnya bekerja juga belum menerima surat edaran KPI tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadan. Menurutnya, pihaknya akan menentukan sikap setelah menerima dan mempelajari surat edaran tersebut. [sm/em]