Ketua KPU Hasyim Asy’ari dalam jumpa pers, Rabu (10/8) mengatakan lembaganya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah melakukan rapat koordinasi bersama pada Selasa (9/5) malam untuk merespon berbagai masukan publik terkait Peraturan KPU No.10 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD dan DPRD Kabupaten, Kota.
Hasyim mengatakan pihaknya setuju untuk segera merevisi pasal 8 ayat 2 aturan tersebut, dengan mengubah penghitungan pembulatan ke bawah untuk caleg perempuan menjadi pembulatan ke atas seperti peraturan sebelumnya.
“Pasal 8 Ayat (2) diubah menjadi dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas,” kata Hasyim.
Menurut Hasyim, partai politik yang merasa keterwakilan perempuannya tidak memenuhi teknis penghitungan versi revisi, dapat memperbaiki daftar bakal calon legislatifnya (bacaleg), baik pada masa pendaftaran hingga 14 Mei 2023.
Atas revisi ini, pihaknya lanjutnya akan segera berkonsultasi dengan komisi II DPR. Konsultasi ini adalah tahapan yang, menurut UU Pemilu, harus dilalui dalam pembentukan peraturan KPU.
Organisasi Perempuan Kecam Aturan Baru KPU
Sebelumnya sejumlah organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan – yang mencakup Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dan Puskapol – mengkritik peraturan KPU tersebut karena dinilai berpotensi mengurangi jumlah caleg perempuan pada Pemilu 2024 dan dinilai tak selaras dengan Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan kebijakan KPU melakukan koreksi terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun harus dimaknai sebagai pengakuan adanya pelanggaran hukum dalam mengimplementasikan ketentuan Pasal 245 UU No. 7 Tahun 2017 yang secara tegas menjamin paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan sebagai bakal calon anggota DPR dan DPRD.
Menurutnya peristiwa pelanggaran hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD tidak seharusnya terjadi apabila KPU mempunyai komitmen yang tinggi melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai kewajiban hukumnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 huruf b UU No.7 Tahun 2017 yang menyebutkan KPU memperlakukan peserta pemilu secara adil dan setara.
“Hal ini mestinya menjadi pembelajaran berharga ke depan bahwa pengaturan level teknis oleh KPU jangan sampai dan tidak boleh menyimpangi Undang-undang apalagi sampai melemahkan keterwakilan perempuan dan praktek demokrasi, iklusif di Indonesia,” kata Titi.
CEDAW Dorong Keterwakilan Perempuan
Sebagai negara peserta Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (the Convention of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984, Indonesia dalam hal ini DPR dan pemerintah, telah berkomitmen untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam parlemen. Karenanya komitmen ini sejalan dengan komitmen jaminan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu.
Your browser doesn’t support HTML5
Titi mengatakan pernyataan KPU tentang kesiapan merevisi PKPU 10/2023 harus segera diwujudkan dengan cepat dan mendesak. KPU harus segera melakukan pemberitahuan revisi kepada DPR dan Pemerintah, serta menetapkan revisi tersebut, tegasnya.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mendukung langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tersebut.
[fw/em]