Anggota KPU Arief Budiman mengatakan KPU telah mengusulkan agar pemilu digelar pada 21 Februari 2024 dan pilkada serentak pada 27 November 2024. Menurutnya, jadwal ini sudah ideal untuk meringankan beban kerja penyelenggara dan biaya yang tidak mahal.
Selain itu, kata dia, KPU juga sudah menyiapkan peta jalan atau road map penggunaan teknologi informasi untuk membantu pelaksanaan pemilu 2024.
"Manfaatnya meningkatkan efektifitas, efisiensi, kecepatan proses dan layanan kepada perpol, peserta pemilu, pemilih serta stakeholder lainnya," jelas Arief Budiman dalam diskusi "Seleksi KPU/Bawaslu dan Upaya Mengatasi Kompleksitas Pemilu 2024" pada Minggu (31/10/2021).
Arief menjelaskan sejumlah sistem teknologi informasi yang dimiliki KPU di antaranya Sistem Informasi Logistik (Silog), sistem Informasi Pencalonan (Silon), dan Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam).
Menurutnya, pengembangan sistem tersebut secara terintegrasi akan dilakukan pada 2021 hingga 2022. Selanjutnya sistem tersebut sudah dapat diterapkan pada 2023 dan 2024."Sidalih (Sistem Daftar Pemilih), Sipol (Sistem Informasi Partai politik), dan Silon ke depan kebutuhannya menjadi mutlak harus menggunakaan bantuan teknologi informasi. Karena jutaan nama, ratusan ribu tempat tidak mungkin kita memeriksa secara manual," imbuhnya.
Arief berharap partai politik juga dapat memperbarui data secara berkelanjutan. Semisal data anggota dan alamat kantor sehingga dapat memudahkan KPU saat pemeriksaan dan mengurangi penggunaan kertas.
BACA JUGA: Tim Seleksi Calon Anggota KPU Dinilai NetralSedangkan terkait anggaran pemilu dan pilkada serentak 2024, Arief menuturkan KPU merancang sebesar Rp86 triliun. Namun, anggaran tersebut sedang dihitung ulang dengan kisaran Rp76 triliun.
Terkendala UU
Sementara Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan penggunaan teknologi informasi dalam Pemilu 2024 terkendala undang-undang. Ia beralasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu belum mengatur penggunaan teknologi. Ini berbeda dengan Undang-undang Pilkada yang telah mengatur soal ketentuan penggunaan teknologi.
"Pengalaman KPU pada 2019, ketika menggunakan Sipol karena ada yang tidak puas, kemudian Sipol-nya dibatalkan," jelas Khoirunnisa.
Khoirunnisa menyarankan anggota KPU terpilih nanti dapat mengkomunikasikan persoalan teknologi tersebut kepada para pemangku kepentingan agar peristiwa seperti tahun 2019 tidak terulang kembali.
Your browser doesn’t support HTML5
Selain itu, Nisa mendorong KPU untuk terus melakukan uji coba sistem informasi tersebut karena semakin mendekati 2024. Tujuannya semua pemangku kepentingan percaya dengan penggunaan teknologi dalam pemilu dan pilkada serentak 2024.
"Nah bagaimana mencari penyelenggara pemilu yang bisa inovatif dan beradaptasi dengan cepat. Misalnya nanti terpilih orang yang baru semuanya," tambahnya. [sm/em]