Gunung Anak Krakatau ibarat berada di halaman depan Pulau Sebesi. Pulau kecil itu menjadi tempat transit bagi wisatawan yang menyeberang dari Dermaga Canti di Kalianda Lampung, sebelum menikmati pesona Krakatau. Selain bertani, warga Sebesi menyediakan penginapan sederhana bagi wisatawan. “Sebelum letusan, setiap hari ada yang datang. Paling tidak dua perahu. Mereka nginap dulu di Sebesi, lalu nyebrang dan mendaki Anak Krakatau,” kata Hayun, warga Pulau Sebesi yang juga menyewakan kamar untuk wisatawan.
Ketika tsunami terjadi pada 22 Desember 2018 lalu, kata Hayun, warga sempat melihat air laut surut. Teringat apa yang terjadi di Aceh, warga kemudian menyelamatkan diri ke gunung di tengah pulau. Sekitar 200 rumah di Sebesi hancur tanpa sisa, dan ratusan yang lain rusak berat. Hingga Jumat pagi, sekitar 2.500 dari 3.000 warga pulau itu masih mengungsi di Rajabasa.
Masyarakat Kurang Pahami Resiko
Hayun mengaku, warga trauma sampai saat ini. Mereka tidak memahami bahaya tsunami sehingga mendirikan rumah dekat laut. Kini, mereka tak mau lagi tinggal di pantai.
Your browser doesn’t support HTML5
“Harapannya, masyarakat yang rumahnya hancur mohon dibantu pembuatan rumahnya, bukan disitu lagi, tapi ke atasnya biar agak jauh dari pantai. Rumahnya sudah hancur, alat-alat kapal sudah hilang, tinggal yang ada di badan saja. Ada gunung di Sebesi, dulu disuruh, dipindah memang tidak mau, nah sekarang sudah kejadian seperti ini masak tidak mau. Apa pengin kena ombak lagi,” ujar Hayun.
Presiden Joko Widodo bertemu dengan pengungsi dari Pulau Sebesi dalam kunjungan ke Lampung, Rabu (02/01) lalu. Pada pertemuan di lapangan Tenis Indoor Kalianda, Lampung Selatan, penyintas tsunami tegas meminta pemerintah memindahkan pemukiman mereka, jauh dari luat.
“Tadi sudah saya tanyakan kepada masyarakat Sebesi. Intinya mereka ingin direlokasi agak naik. Sudah tidak berani lagi di bibir pantai, semuanya,” ujar Jokowi kepada media.
Dalam pernyataan resminya, Jokowi menceritakan bahwa setelah tsunami, komunikasi ke Pulau Sebesi sempat terputus. Pemerintah kemudian mengerahkan empat kapal untuk mengevakuasi warga, termasuk 40 wisatawan.
“Permintaan warga Pulau Sebesi ini akan segera kita laksanakan. Bukan hanya untuk warga Pulau Sebesi saja, penataan tata ruang terutama bagi wilayah-wilayah yang berada di sekitar garis pantai sudah mendesak untuk dilakukan,” kata Jokowi.
Pemerintah Indonesia telah membuat peta rawan tsunami. Sepanjang pesisir barat Sumatera, selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur, pesisir timur Kalimantan dan mayoritas pantai Sulawesi, seluruh area Maluku serta kawasan sekitar Kepala Burung di Papua dinyatakan rawan. Sejak 1629, Indonesia telah mengalami 110 tsunami yang signifikan. Sebanyak 100 tsunami disebabkan oleh gempa tektonik, -sembilan tsunami karena aktivitas vulkanik di laut dan satu tsunami sebagai dampak longsoran dalam laut.
Mitigasi Bencana Diperlukan
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya pengurangan risiko bencana, melalui pembangunan fisik, penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Belajar dari pengalaman Hayun di Sebesi, nampaknya masyarakat sekitar Krakatau belum memahami mitigasi ini.
Keliek Sukarwoto, relawan sosial dari Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Lampung mengatakan kepada VOA, warga setempat hanya paham bahwa tsunami selalu didahului oleh gempa bumi. Karena itulah, tsunami akibat longsoran gunung Anak Krakatau ini sepenuhnya hal baru bagi mereka. “Kalau aktivitas Krakatau sendiri itu hal biasa bagi warga. Kawasan ini adalah tempat wisata yang indah dan memiliki ikan melimpah bagi nelayan,” ujar Keliek yang tinggal di Bandar Lampung.
Belajar dari pengalaman, Keliek memandang perlu pelatihan yang lebih dan penyediaan sarana terkait kebencanaan di sekitar Krakatau. “Warga harus di-edukasi kalau terjadi bencana harus bagaimana. Titik kumpul mereka dimana, dan juga disediakan sarana pengungsian yang aman di pulau-pulau itu, aman dari gempa, letusan gunung dan tentu saja tsunami,” tambah Keliek.
Sulastama Raharja, dari Kagama Care menyadari kondisi itu. Kagama Care adalah lembaga sosial yang dibentuk oleh alumni Universitas Gadjah Mada. Dalam empat bulan terakhir, mereka telah bekerja di Lombok, Palu dan kini Lampung.
Berbicara kepada VOA, Sulastama mengatakan, Indonesia memang belum memberi perhatian cukup dalam soal terkait mitigasi.
“Indonesia itu kan di ring of fire, bencana relatif lebih sering terjadi dibanding daerah lain. Dari sisi kerelawanan, kita cenderung lebih reaktif. Terjadi bencana, kita mengumpulkan bantuan kemudian mengirim ke lokasi. Tetapi sebagian besar dari kita tidak dipersiapkan dengan baik, seandainya terjadi bencana, apa yang akan kita lakukan,” ujar Sulastama.
Di Lampung, Kagama Care bekerja sama dengan Global Medic dari Kanada dan lembaga Penny Appeal yang berbasis di Inggris. Mereka memasang 3 unit penjernih air, yang mampu menyediakan 40 liter air bersih siap minum setiap menitnya bagi pengungsi. Alat ini masih dalam keadaan baru, dan dapat dipindahkan kemanapun di Indonesia untuk penyediaan air siap minum dalam bencana. Pilihan untuk menyediakan alat tersebut, kata Sulastama, adalah bagian dari mitigasi kebencanaan dalam jangka panjang.
Sulastama menggarisbawahi tiga langkah yang sebaiknya dilakukan, yaitu pendidikan, pelatihan dan penyebaran informasi. Dalam kasus tsunami kali ini misalnya, masyarakat lebih banyak mendasarkan tindakan pada ingatan bencana tahun 1883. Sementara generasi muda justru tidak tahu sama sekali peristiwa itu. Karena itulah pendidikan penting dilakukan, termasuk memasukkan itu dalam kurikulum di sekolah.
Pelatihan kebencanaan juga relatif jarang dilakukan. Begitu pula minimnya penyebaran informasi, misalnya tentang bahaya Krakatau dan tsunami yang menyertainya. Banyak data dan catatan tersedia di lembaga riset atau badan pemerintah, namun tidak sampai ke masyarakat sehingga tidak dipahami.
“Yang sudah terjadi ini harus kita jadikan pelajaran, untuk menyusun kerangka ke depan. Kita tidak bisa mengubah alam, tetapi kita bisa belajar hidup harmonis dengan alam,” tambah Sulastama. [ns/lt]