Lesi kulit leishmaniasis yang tidak menyakitkan tetapi menimbulkan luka tak beraturan, akibat gigitan lalat pasir, akan segera bisa diobati dengan krim antibiotik.
Sekarang ini, pengobatan cutaneous leishmaniasis, disingkat CL, mengharuskan penderita minum obat selama 20 hari. Obat berisi logam berat beracun itu harus disuntikkan langsung ke pembuluh darah di rumahsakit dan klinik.
Petugas kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang melaporkan sejumlah orang yang terkena CL lebih memilih mencoba membakar lesi-lesi mereka yang tak beraturan dengan asam baterai atau menggunakan parang panas membara, daripada mencari pengobatan medis, yang menyakitkan, mahal dan lama.
Tetapi, tidak lama lagi, penderita CL bisa diobati dengan krim antibiotik yang dioleskan langsung ke luka yang terbuka.
Mayor Mara Kreishman-Deitrick dari US Army Medical Research Institute of Infectious Diseases adalah penulis utama penelitian mengenai dua krim antibiotik - satu krim mengandung paromomycin dan gentimicin; sementara krim lain hanya berisi paromomycin.
Dalam percobaan klinis terhadap 375 orang yang menderita CL di Tunisia, Kreishman-Deitrick mengatakan, kedua krim, yang dioleskan sekali sehari selama 20 hari, mengurangi ukuran luka secara signifikan dan membantu pertumbuhan kembali kulit setelah 100 hari.
"Hasil penelitian menunjukkan, kami sangat gembira mengenai hal ini, kedua krim yang kami uji coba menyembuhkan lebih dari 80 persen lesi pada pasien yang dirawat, dengan kadar keamanan yang tinggi. Efek samping yang ada, ringan dan sedang, umumnya hanya reaksi kecil kulit di sekitar tempat olesan," paparnya.
Penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk menentukan apakah krim itu benar-benar membunuh parasit CL. Itu sebabnya peneliti menunggu enam bulan untuk melihat apakah ada komplikasi pada lesi yang diobati.
Percobaan di Tunisia itu melibatkan penularan L. utama, spesies parasit yang dibawa lalat pasir di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Namun, Kreishman-Deitrick optimistis krim antibiotik kombinasi itu akan mengobati CL di negara-negara lain.
Sekitar 1,5 juta kasus CL didiagnosis setiap tahun, termasuk di kalangan personil militer Amerika yang bertugas di luar negeri. Belakangan ini, personil militer yang terkena CL harus pulang untuk perawatan. Kreishman-Dietrick mengatakan, krim itu akan memungkinkan mereka dirawat di tempat.
Karena CL dianggap penyakit tropis yang diabaikan, Kreishman-Dietrick mengatakan, anggota DPR Amerika mempertimbangkan krim yang sangat manjur itu akan segera disetujui.
Artikel mengenai pengobatan topikal atau salep untuk CL oleh peneliti di 'US Army Medical Research Institute', Departemen Kesehatan Tunisia, dan peneliti pada Instituts Pasteur di Tunis dan di Paris itu diterbitkan dalam The New England Journal of Medicine.
Petugas kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang melaporkan sejumlah orang yang terkena CL lebih memilih mencoba membakar lesi-lesi mereka yang tak beraturan dengan asam baterai atau menggunakan parang panas membara, daripada mencari pengobatan medis, yang menyakitkan, mahal dan lama.
Tetapi, tidak lama lagi, penderita CL bisa diobati dengan krim antibiotik yang dioleskan langsung ke luka yang terbuka.
Mayor Mara Kreishman-Deitrick dari US Army Medical Research Institute of Infectious Diseases adalah penulis utama penelitian mengenai dua krim antibiotik - satu krim mengandung paromomycin dan gentimicin; sementara krim lain hanya berisi paromomycin.
Dalam percobaan klinis terhadap 375 orang yang menderita CL di Tunisia, Kreishman-Deitrick mengatakan, kedua krim, yang dioleskan sekali sehari selama 20 hari, mengurangi ukuran luka secara signifikan dan membantu pertumbuhan kembali kulit setelah 100 hari.
"Hasil penelitian menunjukkan, kami sangat gembira mengenai hal ini, kedua krim yang kami uji coba menyembuhkan lebih dari 80 persen lesi pada pasien yang dirawat, dengan kadar keamanan yang tinggi. Efek samping yang ada, ringan dan sedang, umumnya hanya reaksi kecil kulit di sekitar tempat olesan," paparnya.
Penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk menentukan apakah krim itu benar-benar membunuh parasit CL. Itu sebabnya peneliti menunggu enam bulan untuk melihat apakah ada komplikasi pada lesi yang diobati.
Percobaan di Tunisia itu melibatkan penularan L. utama, spesies parasit yang dibawa lalat pasir di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Namun, Kreishman-Deitrick optimistis krim antibiotik kombinasi itu akan mengobati CL di negara-negara lain.
Sekitar 1,5 juta kasus CL didiagnosis setiap tahun, termasuk di kalangan personil militer Amerika yang bertugas di luar negeri. Belakangan ini, personil militer yang terkena CL harus pulang untuk perawatan. Kreishman-Dietrick mengatakan, krim itu akan memungkinkan mereka dirawat di tempat.
Karena CL dianggap penyakit tropis yang diabaikan, Kreishman-Dietrick mengatakan, anggota DPR Amerika mempertimbangkan krim yang sangat manjur itu akan segera disetujui.
Artikel mengenai pengobatan topikal atau salep untuk CL oleh peneliti di 'US Army Medical Research Institute', Departemen Kesehatan Tunisia, dan peneliti pada Instituts Pasteur di Tunis dan di Paris itu diterbitkan dalam The New England Journal of Medicine.