Krisis Kesehatan di Republik Afrika Tengah Makin Parah

  • Gabe Joselow

Menurut badan bantuan kesehatan Dokter Tanpa Tapal Batas (MSF), Republik Afrika Tengah bukan hanya mengalami krisis kekurangan gizi parah, tetapi juga tingkat kematian anak-anak yang tiga kali lebih tinggi dari tingkat darurat (foto: dok).

Dengan tingkat harapan hidup terendah di dunia dan tingginya kasus penyakit menular, Republik Afrika Tengah menghadapi krisis kesehatan parah.
Luke Fagende adalah tukang jahit yang mangkal di luar bekas bursa penjualan berlian di kota Carnot di bagian barat Republik Afrika Tengah. Ia mengatakan kondisi kesehatan mulai memburuk di negara itu pada tahun 2009, sewaktu banyak bisnis berlian milik pengusaha asing meninggalkan kota itu di tengah-tengah krisis finansial global.

Ia mengatakan, orang-orang asing sebelumnya berbelanja berlian di sana, tetapi sekarang tidak ada lagi pembeli asing. Tidak ada lagi uang untuk membeli obat guna mengobati penyakit mereka dan penduduk menjadi semakin miskin.

Sementara uang dari bisnis berlian berhenti mengalir, Carnot mengalami krisis kekurangan gizi yang parah, yang membuat badan bantuan kesehatan Dokter Tanpa Tapal Batas (MSF) turun tangan.

MSF menjalankan program nutrisi darurat pada tahun pertama, tetapi LSM itu kemudian mendapati masalah-masalah kesehatan yang lebih parah di kawasan, termasuk di antaranya tingkat kematian anak-anak yang tiga kali lebih tinggi daripada yang dianggap sebagai tingkat darurat, serta meningkatnya kasus HIV dan tuberkulosis.

Serge St. Louis, ketua misi MSF-France di Carnot, mengatakan pihaknya memutuskan untuk membuat proyek-proyek jangka panjang di kota itu, dengan membantu kementerian kesehatan untuk memperbaiki rumah-rumah sakit.

Walikota Carnot, Pierre Dotwa, mengatakan, kondisi di sana membaik berkat keterlibatan MSF.

Carnot hanyalah satu contoh kecil dari kondisi kesehatan yang menyedihkan di Republik Afrika Tengah. Negara itu itu berada pada peringkat ke-179 dari 187 negara dalam indeks pembangunan manusia PBB, dengan harapan hidup rata-rata hanya 48 tahun.

Sementara isu-isu ekonomi menyebabkan masalah kesehatan di bagian barat, lebih dari 100 ribu orang telantar akibat konflik dengan kelompok-kelompok pemberontak di bagian timur, termasuk Tentara Pembebasan Tuhan. Ini semakin menyulitkan upaya menyediakan layanan kesehatan.
Di berbagai pelosok negara itu, kurangnya investasi pada sistem layanan kesehatan, termasuk pembangunan rumah sakit dan pelatihan bagi para dokter, masih menjadi salah satu tantangan terbesar untuk memperbaiki kondisi di sana.

Pemerintah tidak mampu atau enggan menyediakan investasi, masyarakat internasional juga menjaga jarak.

PBB mengimbau bantuan kemanusiaan 140 juta dolar pada tahun 2011, tetapi hanya menerima 45 persen dari jumlah tersebut.

Kepala kantor urusan kemanusiaan PBB di ibukota, Bangui, Amy Martin, mengatakan, meskipun pemerintah telah mencapai sejumlah kemajuan dalam bidang keamanan, pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk menarik minat donor dan investor.