Presiden Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping telah sepakat membentuk kerja sama maritim yang mencakup berbagai aspek kerja sama ekonomi, khususnya di bidang peikanan dan konservasi perikanan di Kawasan Laut China Selatan. Kesepakatan ini ditandatangani di sela-sela lawatan Prabowo ke Beijing, Sabtu lalu (9/11), lawatan pertama setelah dilantik menjadi presiden 20 Oktober lalu.
Pernyataan bersama yang dikeluarkan kedua pemimpin seusai penandatangani kesepakatan-kesepakatan itu menuai kecaman di dalam negeri. Banyak pihak mempertanyakan isi paragraf 2 poin 9 yang menyatakan bahwa kedua pemerintahan “mencapai kesepahaman tentang pengembangan bersama wilayah maritim yang saat ini tengah berada dalam situasi klaim tumpang tindih (overlapping claims).”
Pengamat Hubungan Internasional di Universitas Indonesia Aristyo Rizka Darmawan menegaskan Indonesia tidak memiliki tumpang tindih klaim dengan China karena selama ini Indonesia telah dengan tegas menolak mengakui klaim China di Laut China Selatan, terutama setelah Mahkamah Arbitrase Antarbangsa (PCA) pada tahun 2016 menegaskan bahwa klaim nine-dash-line (sembilan garis putus-putus) tidak dikenal dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), yang merupakan perjanjian internasional tentang hukum laut.
Dengan adanya dokumen pernyataan bersama (join statement) yang menyebut bahwa kedua pemerintahan “mencapai kesepahaman tentang pengembangan bersama wilayah maritim yang saat ini tengah berada dalam situasi tumpang tindih klaim,” artinya Indonesia mengakui secara terbuka bahwa nine dash line itu ada, ujar Aristyo, yang juga mengecam bagian soal “pengembangan bersama” atau “joint development” dalam pernyataan bersama itu.
“Join development artinya kita akan sharing, kita berbagi sumber daya yang harusnya sumber daya itu milik kita. Jadi sebenarnya itu kan wilayah kita , sumber daya wilayah hak berdaulat kita, tapi kemudian kita mengakui klaimnya China sehingga apa dampak kita mengakui klaim nya China, OK kita berbagi deh melalui join development. Akhirnya kita berbagi dengan China, yang sebenarnya China tidak punya hak berdasarkan hukum internasional jadi kan itu merugikan,” tegasnya.
Aristyo khawatir Indonesia mengeluarkan pernyataan bersama itu karena “mungkin ingin menggaet investasi yang banyak dari China.” Ditambahkannya, “Prabowo sudah komitmen 8 persen, itu kan cukup besar kemudian salah satu utamanya untuk mengenjot ekonomi 8 persen itu pasti melalui investasi, dan negara yang bisa memberikan investasi mungkin bertambah kembang ya China, selaku mitra dagang Indonesia yang besar.”
Meski demikian, menurut Aristyo, Indonesia seharusnya mengkaji lebih rinci kesepakatan seperti ini supaya tidak ada celah yang merugikan Indonesia kelak. Jika ada kerjasama apapun di wilayah itu, Indonesia harus menegaskan kembali bahwa wilayah tersebut sepenuhnya wilayah Indonesia dan tidak mengakui klaim China.
Pakar Hukum Laut Pertanyakan Klaim 10 Garis Putus-Putus
Rektor Univesitas Jenderal Achmad Yani yang juga pakar hukum laut internasional, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, menggarisbawahi agar penguatan kerjasama Indonesia dan China tidak sampai mengorbankan kedaulatan Indonesia dan kepentingan bersama ASEAN di Laut China Selatan.
Dia juga mempertanyakan apakah klaim yang ada dalam dokumen pernyataan bersama itu terkait dengan 10 garis putus-putus (ten-dash-line) atau lebih dikenal dengan 9 garis putus-putus yang bertumpang tindih dengan klaim ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.
“Karena jika demikian, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihan China atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan,” ujar Hikmahanto dalam pernyataan tertulisnya.
Ia mendesak pemerintahan Prabowo untuk tidak mengakui klaim China tersebut karena tidak akan sesuai dengan undang-undang terkait teritori nasional yang berlaku, dan Indonesia pun tidak pernah melakukan perundingan kawasan maritim dengan China.
Lebih jauh Hikmahanto menyoroti dampak komitmen pembangunan maritim Indonesia-China terhadap situasi geopolitik di kawasan Asia Tenggara khususnya saat klaim China di Laut China Selatan bersingungan dengan klaim negara-negara anggota ASEAN.
“Negara-negara yang berkonflik dengan China sebagai akibat klaim sepihak sepuluh garis putus-putus seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam akan mempertanyakan posisi Indonesia dan bukan tidak mungkin memicu ketegangan di antara negara ASEAN,” kata Hikmahanto.
Peneliti SETARA: Pernyataan Bersama RI-China Keliru dan Berisiko
Peneliti di SETARA Institute, Merisa Dwi Juanita, menilai apa yang termaktub di pernyataan bersama Indonesia-China itu merupakan kebijakan yang keliru dan beresiko bagi Indonesia.
Merisa mengatakan sejak dahulu Indonesia secara konsisten melakukan protes terhadap klaim yang dilakukan China. Dengan klaim saat ini, berarti perairan di wilayah Pulau Natuna juga bisa diklaim oleh China. Sesuatu yang menurutnya berbahaya, terlebih karena selama ini nelayan-nelayan China bersama pasukan penjaga pantainya telah berulangkali melakukan penangkapan ikan illegal dan secara terang-terangan melanggar zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara.
“Apa yang harus kita join developmentkan, Ini kan wilayah kita. Mempunyai hubungan diplomatik dan hubungan dagang yang baik, OK; tapi kata-kata seperti ini, waah ini suatu yang besar sekal,” ujarnya.
Kemlu RI: Kerjasama Maritim Bukan Pengakuan atas Klaim China
Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan kerja sama maritim Indonesia-China ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim China terhadap “sembilan garis putus-putus.”
Indonesia mengaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Bagi Indonesia, kerja sama ini harus dilaksanakan berdasarkan sejumlah undang-undang dan peraturan terkait, temasuk yang mengatur kewilayahan, undang-undang ratifikasi perjanjian internasional kelautan, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982.
Laut China Selatan merupakan jalur penting untuk perdagangan global, di mana lebih dari sepertiga perdagangan dunia melewati perairan tersebut. Laut China Selatan juga memiliki potensi besar di sektor perikanan, dan ditengarai memiliki banyak cadangan minyak dan gas yang masih belum dieksplorasi. China, secara sepihak, telah menggunakan nine dash line atau sembilan garis putus-putus yang mencakup kawasan seluas dua juta kilometer per segi, yang 90 persen di antaranya diklaim sebagai hak maritim historisnya. [fw/em]