KTT Bali Kesempatan Terakhir Bagi Kesepakatan WTO

Pintu masuk kantor pusat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa, Swiss. (Foto: Dok)

KTT yang tidak menghasilkan kesepakatan setelah mencoba lebih dari satu dekade dapat menyiratkan hilangnya signifikansi WTO sebagai forum negosiasi perdagangan.
Para pejabat tinggi dunia urusan perdagangan memulai konferensi tingkat tinggi Selasa (3/12) yang akan menghasilkan perjanjian 11 jam yang dapat mendorong ekonomi global sebanyak US$1 trilyun, atau barangkali mengakhiri relevansi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai forum negosiasi.

Setelah lebih dari satu dekade stagnan dalam pembicaraan-pembicaraan WTO, para negosiator hampir mencapai kesepakatan namun tidak ada dokumen yang komplet bagi puluhan menteri perdagangan yang menghadiri KTT di Bali untuk ditandatangani.

Karena perjanjian sudah semakin dekat, beberapa pihak bahkan mendesak para menteri perdagangan untuk mengambil langkah tidak biasa dengan menyelesaikan negosiasi-negosiasi sendiri.

Sebuah kesepakatan untuk menyederhanakan prosedur-prosedur bea cukai dapat membantu membangkitkan negosiasi-negosiasi perdagangan Putaran Doha dari WTO yang lebih luas, karena perubahan dalam regulasi, pajak dan subsidi dapat menguntungkan negara-negara berpendapatan rendah.

Tetap saja, pertemuan-pertemuan tingkat menteri WTO dirancang untuk mengabadikan kesepakatan-kesepakatan yang sudah dilakukan, bukan negosiasi teknis, jadi menghasilkan kesepakatan dalam konferensi empat hari belum pernah dilakukan sebelumnya.

“Meski masih mungkin, kemungkinan mencapai sebuah kesepakatan terlihat kecil,” ujar Matthias Helble, ahli perdagangan global dari Lembaga Bank Pembangunan Asia dan penasihat WTO.

Tujuan dari Putaran Doha, berdasarkan nama ibukota Qatar tempatnya diluncurkan pada 2001, adalah untuk menyatukan aturan-aturan bagi 159 anggota WTO dalam berbagai wilayah: penurunan pajak impor untuk ratusan barang, pembatasan subsidi yang mendistorsi pasar untuk produk-produk pertanian dan penciptaan standar untuk prosedur-prosedur bea cukai yang akan mempermudah pergerakan barang antar perbatasan.

Konsepnya adalah jika semua negara memainkan aturan yang sama, maka semua negara, kaya atau miskin, akan diuntungkan. Dengan batasan-batasan perdagangan yang lebih sedikit, barang dan jasa dengan berbagai jenis akan lebih terjangkau, menciptakan lebih banyak pekerjaan dan kesempatan bisnis. WTO memperkirakan bahwa pengurangan batasan cukai akan meningkatkan nilai perdagangan dunia total menjadi US$23 trilyun dari perkiraan saat ini yang mencapai $22 trilyun.

Para kritikus aturan-aturan WTO mengatakan hal-hal itu dapat menghambat negara-negara mengatur prioritas mereka sendiri dalam melindungi lingkungan, hak-hak pekerja, keamanan pangan dan wilayah lain. Dan mereka menambahkan bahwa pengurangan tiba-tiba dalam pajak impor dapat menghapus industri-industri, menyebabkan kehilangan lapangan pekerjaan di negara-negara kaya dan miskin.

Ratusan aktivis di Indonesia sendiri melakukan protes di depan gedung-gedung pemerintah di Bali.

Karena semua anggota WTO harus sepakat dalam setiap aspek dari puluhan poin perjanjian perdagangan yang luas, kemajuannya sangat lambat.

Sementara itu, Amerika Serikat dan negara-negara lain telah mengembangkan perjanjian-perjanjian perdagangan regional sendiri. Banyak pakta-pakta semacam itu sudah ada.

Itulah sebabnya mengapa KTT yang tidak menghasilkan kesepakatan setelah mencoba lebih dari satu dekade dapat menyiratkan hilangnya signifikansi WTO sebagai forum negosiasi perdagangan.

“Kegagalan bukan opsi,” ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (3/12) saat membuka KTT. “Saya khawatir jika kesempatan ini hilang, yang paling dirugikan adalah negara-negara berkembang.”

Ekonom Mark Malloch Brown, mantan kepala program pembangunan PBB, mengatakan bahwa negara-negara berkembang dapat kehilangan pendapatan potensial $50 milyar per tahun karena subsidi-subsidi negara kaya terus mencegah mereka berkompetisi di pasar. (AP/Kay Johnson dan Dessianing Ariyanti)