Arab Saudi menggelar karpet merah untuk menyambut Presiden China Xi Jinping yang datang untuk menghadiri serangkaian KTT yang bisa berdampak abadi bagi AS dan negara-negara Barat lainnya. Selain itu, negara-negara Arab yang menghadiri KTT yang berakhir Jumat (9/12) berharap untuk berpartisipasi dalam Inisiatif Jalur Sutra Beijing, yang menghubungkan Asia ke Afrika, melalui dunia Arab. Pada akhirnya, Inisiatif Jalur Sutra juga akan terkait dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan China yang menghubungkan China ke Eropa.
Xi mengatakan kepada para pemimpin Arab pada hari Jumat bahwa pertemuan tersebut telah “berhasil memperkuat upaya bersama untuk menghadapi krisis pangan, energi dan iklim dan berkomitmen untuk menemukan solusi politik bagi masalah yang pelik, sambil menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan.”
BACA JUGA: Xi Jinping Bertemu Dengan Para Pemimpin Arab Dalam Lawatan ‘Tonggak Sejarah’ ke SaudiNegara-negara Arab, termasuk Aljazair, yang merupakan salah satu tuan rumah bersama KTT China-Arab, tampaknya mencari bantuan keuangan dari Beijing, di tengah masalah ekonomi yang bergejolak sejak awal krisis COVID-19 dan akibat kelangkaan dan kenaikan pangan global.
Presiden Mesir Abdel-Fattah el-Sissi mengatakan kepada Xi dan para pemimpin negara-negara Arab bahwa pertemuan itu diadakan pada “titik kritis” dalam urusan internasional, mengingat “berbagai krisis yang dihadapi dunia” dan bahwa “pemahaman yang kuat dengan China” akan banyak membantu “mengatasi situasi.”
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, yang menjadi tuan rumah KTT China-Arab di Riyadh, selain KTT bilateral sebelumnya dan KTT bersama China-Negara-Negara Teluk, tampaknya tertarik untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan teknologi dengan China, selain juga dengan dukungan politik atas isu-isu yang kristin, termasuk Iran dan Yaman.
Salman mengatakan bahwa negara-negara Arab memandang China dengan minat yang besar karena semua pencapaiannya terkait pembangunan dan teknologi yang menjadikannya pemimpin dunia di bidang-bidang itu, dan dia berharap untuk memperkuat hubungan ekonomi, teknologi, dan pembangunan dengan Beijing untuk meningkatkan ekonomi rakyat masing-masing negara.
Sosiolog politik Mesir Said Sadek mengatakan kepada VOA bahwa KTT China-Arab di Riyadh mencerminkan KTT “keamanan dan pembangunan” AS-Arab ketika Arab Saudi menjadi tuan rumah untuk kunjungan Presiden AS Joe Biden pada bulan Juli lalu bersama dengan sejumlah besar pemimpin negara-negara Arab. “Tiga KTT dengan China,” katanya, “adalah upaya untuk mendiversifikasi hubungan di panggung dunia,” pada saat terjadi “pergolakan besar,” karena “Rusia menantang tatanan dunia sebelumnya.”
Lebih jauh Said Sadek menjelaskan, “China menekankan kepentingan strategis untuk membela negara-negara Teluk, jadi bukan hanya Amerika dan Barat yang bertanggung jawab untuk membela negara-negara Teluk.”
Sadek berpendapat bahwa “Negara-negara Teluk tidak berusaha untuk menggantikan AS dengan China tetapi ingin dapat beralih ke mitra strategis lain jika terjadi masalah hak asasi manusia atau faktor strategis lainnya yang mencegah penjualan senjata AS ke negara-negara Arab pada waktu kritis,” seperti yang terjadi ketika AS “memblokir penjualan drone ke UEA karena khawatir akan digunakan di Yaman.”
BACA JUGA: Menlu Saudi: Riyadh Ingin Jalin Kerja Sama dengan China, ASTheodore Karasik, analis negara-negara Teluk menunjukkan bahwa “perjanjian yang ditandatangani di KTT masih perlu dilaksanakan dan proses untuk melakukan pembayaran untuk minyak dengan mata uang yuan kini sedang dilakukan.” Analis berbasis di Washington, D.C. itu menambahkan bahwa “negara-negara Teluk melanjutkan proses diversifikasi yang telah mereka praktikkan selama beberapa dekade.” Krisis COVID-19, kata Karasik, telah “mendorong mereka untuk bertindak lebih cepat demi pemulihan, sementara pusat perdagangan geoekonomi bergerak lebih ke timur.”
Paul Sullivan, seorang analis Timur Tengah dari Dewan Atlantik (Atlantic Council) di Washington, mengatakan kepada VOA bahwa KTT China-Arab lebih banyak merupakan “upaya menanamkan citra yang baik dan propaganda bagi China.” Dia berpendapat bahwa “China dan negara-negara lainnya mendorong gagasan bahwa AS menarik diri dari kawasan tersebut, tetapi ternyata tidak.” Paul Sullivan menunjukkan bahwa “banyak perusahaan AS berbisnis di Mesir, Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya, sementara Armada ke-5 AS dan Angkatan Udara AS masih ada di Pangkalan Udara Al-Udeid di Arab Saudi.”
“Investasi China di dunia Arab,” tambahnya, “hanya sebagian kecil dari keseluruhan investasi China di dunia, yang sebagian besar masih dan akan tetap berada di Asia.” “Negara-negara Arab harus melangkah dengan waspada,” pungkasnya. [lt/jm]