Sebuah buku berjudul “A History of Photography in Indonesia: Essays on Photography from the Colonial Era to the Digital Age” (“Sejarah Fotografi di Indonesia: Kumpulan Esai tentang Fotografi dari Zaman Kolonial sampai Era Digital”), belum lama ini diterbitkan.
Penulisnya adalah Brian Arnold, seorang fotografer, pendidik, dan musisi, yang kini bekerja di Universitas Cornell di Ithaca, New York.
Brian Arnold menulis buku itu berdasarkan kajian ilmiah dari berbagai sumber, utamanya dari arsip yang kaya informasi di Universitas Cornell dan dari Program Studi Asia Tenggara di universitas itu. Di dalam buku itu, Arnold juga memasukkan pengalaman pribadi ketika mengajar, berkolaborasi, dan berdiskusi dengan para praktisi fotografi dari sejumlah perguruan tinggi dan kelompok seniman. Antara lain, dengan Universitas Pasundan, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, dan kelompok artis di Yogyakarta yang tergabung dalam MES56.
Buku itu merupakan kumpulan esai dari sejarawan seni, kurator, antropolog, sosiolog, dan seniman terkemuka yang tertarik dengan perkembangan medium fotografi di Indonesia.
Walaupun fotografi pertama kali ditemukan pada 1839 di Perancis dan Inggris, teknologi itu dengan cepat menarik perhatian khalayak di berbagai negara, termasuk Belanda, yang kemudian segera melihat potensi fotografi untuk mendokumentasikan proyek-proyek kolonial di luar negeri.
Buku itu diawali dengan kedatangan fotografer di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), dan mengkaji bagaimana medium tersebut berkembang sejak saat itu. Secara khusus, buku itu mengamati momen-momen penting dalam sejarah Indonesia, mulai dari gerakan menuju kemerdekaan, perkembangan pendidikan seni rupa di seluruh Nusantara, reformasi, dan munculnya budaya digital.
Secara menyeluruh, berbagai esai terpilih yang ada dalam buku ini memberikan wawasan spesifik terkait sejarah unik fotografi melalui kajian tentang kehadirannya di Indonesia.
BACA JUGA: Festival Lewu Dayak Ajak Anak Muda Dayak 'Pulang Kampung' Merawat BudayaBrian Arnold sendiri, yang berperan sebagai penulis dan editor buku itu, menyumbangkan enam esai dan bekerja sama dengan 10 penulis lain dari Amerika, Eropa, Australia dan Indonesia.
Brian mengatakan beruntung Universitas Cornell menyimpan banyak arsip terkait hal ini. Perpustakaan Asia Tenggara di universitas itu juga sangat besar. Bahkan, kata Arnold, mungkin paling besar di duni. Perpustakaan itu juga menyimpan banyak koleksi manuskrip langka, yang memuat informasi tentang zaman kolonial di Indonesia, termasuk juga banyak buku tentang seniman fotografi di sana.
Dia mengaku bekerja sama dengan para tokoh seni rupa Indonesia termasuk F.X. Harsono, Agus Suwage, dan Wimo Ambala Bayang.
Brian berpendapat bahwa begitu banyak kejadian di dunia yang bisa dilihat dan dipahami dengan foto.
“Sejarah fotografi sangat bernilai bagi manusia di mana saja karena dari foto pula orang bisa mengamati apa yang terlihat dan tersirat dari masa lalu, masa ketika foto itu diambil,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa sejarah fotografi di Indonesia itu unik dan penting sebagai alat untuk memahami sejarah dan berbagai peristiwa di Indonesia, termasuk pada zaman revolusi kemerdekaan, hingga era reformasi.
“Karena kolonialisme dan seni kontemporer Indonesia memberikan sejarah yang unik. Memang, fotografi berasal dari Inggris dan Perancis, tetapi pemerintah kolonial Belanda lah yang pertama menggunakannya untuk mendokumentasikan proyek-proyek mereka," tutur Brian.
"Fotografi adalah senjata pada era kolonial, tapi itu merupakan alat penting juga bagi Soekarno dalam perjuangan kemerdekaan. Fotografi juga sangat penting pada era reformasi di Indonesia," imbuhnya.
Beranjak dari sejarah fotografi di Indonesia yang unik, melalui bukunya, Brian Arnold ingin agar orang Indonesia dan orang di mana saja mengerti keunikan itu, terutama seiring dengan semakin tumbuhnya minat yang begitu besar pada fotografi di Indonesia. Buku itu ditulis dalam bahasa Inggris karena dia ingin menjangkau khalayak internasional.
“Karena sejarah fotografi Indonesia sangat unik, saya berharap orang-orang di mana-mana, di Amerika, di Eropa akan membacanya juga dan mudah-mudahan buku itu akan menarik untuk mereka. Saya juga berharap buku itu menjadi kontribusi baru untuk semua sejarah fotografi di mana saja,” tambahnya.
Sementara itu, seorang seniman dalam bidang fotografi dan video yang mengaku bahwa proses kreatifnya didasarkan pada sejarah dan fakta, merasa mendapat kehormatan sebagai salah seorang penyumbang esai dalam buku itu.
Wimo Ambala Bayang adalah seniman fotografi lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dia juga salah satu pendiri MES56, komunitas seniman yang bekerja secara kooperatif untuk mengembangkan fotografi dan seni kontemporer yang beririsan dengan disiplin ilmu lainnya secara kritis dan kontekstual demi terwujudnya masyarakat yang terbuka, kreatif dan mandiri.
BACA JUGA: Dua Diaspora Indonesia Angkat Isu Rasisme dan Xenofobia di Era Corona Lewat Karya FotoWimo mengapresiasi penerbitan sebuah buku yang diharapkan mengupas dengan komprehensif sejarah fotografi di Indonesia. Menurutnya, gagasan menulis sejarah fotografi sudah lama muncul di kalangan fotografer Indonesia. Namun, kerap tidak menjadi kenyataan sampai akhirnya Brian Arnold menerbitkan bukunya.
"Nah, ini justru dilakukan oleh Indonesianis. Orang Amerika yang sangat cinta kebudayaan dan sejarah di Indonesia. Semoga buku ini jauh lebih komplit daripada buku yang pernah kami terbitkan,” kata Wimo.
Wimo juga berharap buku itu bisa melengkapi video dokumenter yang digagas oleh para dosen dari Universitas Pasundan di Bandung tentang sejarah fotografi di Indonesia, yang mengetengahkan sejumlah peristiwa penting dan wawancara dari para pelaku fotografi.
“Karena (buku) Pak Brian ini dari zaman kolonial, maka ini kan jadi komplit, cukup menjanjikan. Jadi, ini saya kira niat yang sangat baik,” imbuhnya.
Wimo menyumbang esai berjudul “Souvenirs from the Past” (“Oleh-Oleh dari masa Lalu”) untuk buku Arnold. Dia membuat tulisan itu untuk Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda.
Direfleksikan pada zaman sekarang, dengan munculnya kamera digital, Wimo menyodorkan fenomena tentang bagaimana masyarakat Indonesia menggunakan medium digital itu untuk membuat swafoto atau menunjukkan citra diri dengan spontan, dan lebih ekspresif.
“Lain dengan identitas yang realitasnya dikonstruksi seperti tersirat pada foto-foto kartu pos dari zaman kolonial, dia mengamati bagaimana alat yang namanya kamera itu kini digunakan oleh si subyek sendiri dengan kemerdekaan, dengan seluruh keberdayaan untuk menunjukkan identitas,” tambahnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Tulisan Wimo membahas bahwa para fotografer pada masa kolonial itu merepresentasikan tipe-tipe pekerjaan dan tipe-tipe manusia yang bekerja di tanah jajahan.
"Hubungan-hubungan relasi kuasa dari fotografer dan subjek yang difoto itu juga saya sampaikan di situ, bahwa mereka bisa menunjukkan faset dari penampakan yang muncul dan hasil jepretan mereka, tetapi ekspresi si subjek tetap menunjukkan semacam resistansi karena ada ketakutan, seperti ada perasaan berada di bawah ancaman,” jelasnya.
Wimo berharap buku itu bisa menjadi rujukan bagi generasi yang akan datang bahwa “kita sudah punya sejarahnya, bahkan pada zaman kolonial. Dua tahun setelah kamera muncul orang Indonesia justru sudah pengalaman fotografis meskipun hanya sebagai obyek bukan subyek.”
Dia juga berharap dari buku itu bisa dilihat catatan-catatan bagaimana orang Indonesia memanfaatkan kamera dan menggunakan fotografi untuk menyatakan suara mereka. [lt/ab]