Laki-Laki Ikut Desak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

  • Rio Tuasikal

Christian Patricho Adoe dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Andre Flo dari Gusdurian Jakarta mengikuti pawai untuk mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS), Jakarta, Sabtu, 8 Desember 2018. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Kelompok masyarakat sipil berpawai di jalan-jalan ibu kota Jakarta mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) yang mandek di DPR. Aksi ini mayoritas diikuti perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Namun tidak sedikit pula laki-laki yang ikut bersuara.

Aksi Sabtu (8/12) siang dari Sarinah ke silang Monas itu diikuti perempuan dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis, buruh pabrik, pekerja, dan ibu rumah tangga.Namun tak sedikit pula laki-laki yang mendorong RUU ini segera disahkan.

Aktivis Aliansi Remaja Independen (ARI) Aditya Septiansyah ikut turun ke jalan sambil mengangkat payung hitam yang jadi simbol aksi itu. Sementara baju putihnya tegas bersuara: ”Let’s End Sexual Violence and Dance”. Dia mengatakan, laki-laki harus mendukung RUU ini karena laki-laki juga bisa jadi korban kekerasan seksual.

“Laki-laki bisa jadi korban pelecehan seksual. Kita butuh UU yang komprehensif yang bisa melindungi perempuan hetero dan cis (gender), tapi juga bisa melindungi semua korban kekerasan seksual dari berbagai background,” jelasnya di tengah-tengah aksi.

Ratusan orang, perempuan dan laki-laki dari berbagai kelompok, turun ke jalan-jalan protokol di Jakarta mendesak pengesahan RUU P-KS, 8 Desember 2018. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Belum ada pengumpulan data spesifik yang dilakukan di Indonesia, namun sejumlah laporan di luar negeri menunjukkan laki-laki juga bisa jadi korban. Di Amerika Serikat, pada 2011 sebanyak 16,1 persen laki-laki mengaku mendapatkan pelecehan seksual di tempat kerja. Angkanya naik ke 17,6 persen pada 2013. Data ini dicatat oleh US Equal Employment Opportunity Commission (EEOC), lembaga pemerintah yang menjamin kesetaraan hak semua orang di ruang kerja.

Data serupa tampak dalam kajian Association of Women for Action and Research (AWARE) di Singapura, dimana dari 500 responden di negeri singa itu, 21 persen laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.

BACA JUGA: Seribuan Demonstran Tuntut Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Christian Patricho Adoe dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), yang ikut aksi bersama kolega satu organisasinya, mengatakan Indonesia butuh UU yang melindungi laki-laki maupun perempuan di mana pun berada.

“Kalau saya pribadi sih saya punya ibu perempuan, saya juga punya adik, tante. Saya tidak terima kalau tante saya dilecehkan. Apa yang saya perbuat itu akan kembali ke saya kan. Sebisa mungkin, jangan sampai lah ada orang-orang itu (jadi korban) siapa tahu itu keluarga atau teman,” ujar Christian.

Para peserta pawai membawa poster-poster mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) di Jakarta, 8 Desember 2018. RUU P-KS mengatur secara spesifik sembilan bentuk kekerasan yang selama ini belum masuk di KUHP. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Hal senada diutarakan Andre Flo dari Gusdurian Jakarta. Menurutnya RUU inisiatif DPR itu harus segera rampung karena aturan itu akan melindungi perempuan di masa depan.

“Sangat tidak masuk akal bahwa RUU ini ditunda-tunda. Karena balik lagi, untuk menciptakan masyarakat yang madani dan bagus, modern ke depan, awal mulanya adalah keluarga. Bagaimana cara membentuk keluarga yang baik adalah bagaimana kamu menjaga kaum-kaum perempuan di sekitar kamu,” jelasnya.

BACA JUGA: Mahasiswa Bandung Desak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Pawai yang berakhir di Monas ini disambung dengan panggung seni dan orasi dari organisasi perempuan, disabilitas, berbagai kelompok sipil, termasuk individu laki-laki.

RUU P-KS Mandek di Parlemen

Kekerasan seksual selama ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), namun hanya meliputi pencabulan dan pemerkosaan. Sementara itu, dalam RUU P-KS ada sembilan jenis kekerasan seksual yang akan diatur spesifik. Hal ini meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.

BACA JUGA: Jalan Panjang Menuju Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Sayangnya, pembahasan RUU ini berjalan lambat di DPR komisi VIII yang membidangi perempuan, anak, dan agama. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mempertanyakan ketegasan DPR.

“Ini kan antara lembaga institusi dan pemerintah kita masih perlu lakukan pendekatan lagi. Dan memang semua sudah merupakan satu agenda pembahasan di 2019. Jadi, saya hanya menunggu dari DPR karena saya sudah bacakan statement pemerintah dari presiden tentang RUU ini,” jelasnya usai penghargaan Media Ramah Anak di Jakarta, Jumat (7/12).

Aktivis Aliansi Remaja Independen (ARI) Aditya Septiansyah (ketiga kiri) berpose di depan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang dilewati rute pawai, Jakarta, Sabtu, 8 Desember 2018. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

RUU ini resmi ditetapkan jadi inisiatif DPR sejak Februari 2017, namun hingga kini Komisi VIII masih dalam taraf menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU). Padahal jika pembahasan ini tidak selesai sebelum anggota DPR lengser, prosesnya harus diulang kembali dari awal.

Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Azriana mengatakan pembahasan mandek karena politisi Senayan membangun ketakutan moral tak berdasar.

“RUU ini kan inisiatif DPR ya, harusnya DPR bisa membuka ruang-ruang yang lebih luas untuk mendiskusikan RUU ini di internal mereka. Sehingga tidak perlu memperlihatkan kekuatiran-kekuatiran akibat tidak paham RUU itu, kepada masyarakat,” pungkasnya di penghujung aksi. [rt/em]