Lansia tidak bermakna hanya menghabiskan waktu dengan momong cucu. Karena itulah, Juhariyah merasa perlu mendirikan sekolah "Yang Eyang" pada 2012, untuk memberi warna pada keseharian lansia. Sekolah yang ada di Ledokombo, Jember, Jawa Timur ini, membekali para lansia dengan pengetahuan baru yang mereka perlukan. Kata Juhariyah ini penting, karena mereka yang lahir di era tahun 50-an, kini harus menghadapi cucu dari generasi milenial.
Upaya mereka untuk terus belajar bahkan merambah jauh hingga ke soal radikalisme. Hal ini, kata Juhariyah, didorong pengalaman salah satu peserta sekolah sendiri. Salah satu anak lansia ini, dikenal cerdas dan penurut sepanjang menghabiskan pendidikan dasar hingg SMA. Namun, semua berubah setelah dia menempuh pendidikan tinggi di kota.
“Setelah keluar rumah kemudian kuliah, itu yang menjadi pemikiran, karena setiap pulang, dia itu sedikit-sedikit mengatakan kepada orang tuanya. ini haram, ini tidak boleh. Jadi dari anak pendiam dan cerdas, dia kemudian membentak dan berani kepada orang tua,” kata Juhariyah.
Aktivis yang sejak 2007 bergerak dalam pemberdayaan lansia itu berbicara dalam obrolan lansia Menangkal Radikalisme, Sabtu (29/5). Perbincangan itu diselenggarakan WGWC, Tanoker dan Aman Indonesia. Indonesia memang memperingati 29 Mei setiap tahunnya, sebagai Hari Lanjut Usia Nasional.
Peran lansia dinilai cukup strategis karena salah satu upaya melawan paham radikal adalah dengan meningkatkan peran pencegahan di tingkat komunitas dan kelompok. Wacana alternatif berbasis nilai tradisi ini antara lain dibangun oleh Tanoker dan Sekolah "Yang Eyang" melalui gerakan Sistem deteksi dini ekstrimisme (SITI).
Pertanian Sebagai Sarana
Zaka Ardiansyah, salah satu pendamping gerakan Desa Damai mengakui peran penting kelompok masyarakat ini. Karena itulah, di pedesaan upaya menangkal radikalisme dilakukan melalui pendekatan terhadap kegiatan masyarakat seperti pengajian, yang juga dikenal sebagai majelis taklim. Kegiatan pendampingan dengan mengajak tokoh masyarakat dan guru ngaji ini dilakukan dalam bentuk sederhana.
“Mengumpulkan masyarakat yang memiliki kegelisahan yang sama, untuk melakukan pencegahan ekstremisme kekerasan, atau radikalisme menjangkiti anaknya, berkumpul bersama, belajar menanam sayuran dan memelihara ikan dalam ember,” kata Zaka.
Karena semua memiliki sayuran dan ikan lele yang dibudidayakan dalam ember besar, tokoh dan masyarakat memiliki kesempatan untuk rutin bertemu setidaknya dua kali dalam sebulan. Pertamuan ini menyertakan anggota keluarga mereka, sehingga diharapkan mampu membangun hubungan sosial yang lebih baik. Di sela acara merawat tanaman dan ikan bersama-sama itulah, dialog dan berbagi pengalaman terjalin, mengenai tema-tema aktual di sekitar mereka. Salah satu yang diperbincangkan, adalah bagaimana kecenderungan radikalisme muncul di kalangan anak-anak mereka atau generasi muda secara umum.
“Bagi tim SITI, tujuan akhirnya adalah menggandeng para tokoh potensial yang memiliki kegelisahan yang sama tadi, untuk bisa belajar berbagi pencegahan dan potensi penyebaran radikalisme di lingkungannya. Dan ini cukup efektif meningkatkan pemahaman dampingan serta menjadi ajang untuk berbagi potensi radikalisme di lingkungan masing-masing,” tambah Zaka.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Zaka, gerakan berbasis komunitas ini juga memiliki sejumlah tantangan, misalnya bagaimana mengidentifikasi gejala-gejala radikalisme itu sendiri. Langkah itu penting karena menjadi kunci bagi para lansia kelompok binaan, terkait identitas kelompok tersebut.
“Di beberapa kesempatan kami tidak dapat secara terbuka mengungkap identitas, namun menunjukkan gejala intoleransi dan radikalisme yang kadang ditemukan,” tambah Zaka.
Lansia Sebagai Subyek
Dihubungi terpisah, Dr Pinky Saptandari mengakui masih ada stigma di masyarakat terhadap lansia sebagai pihak yang perlu dilindungi dan tidak berdaya. Padahal, di sisi lain kelompok masyarakat ini memiliki potensi yang dapat diberdayakan.
Pinky adalah pendiri Lansia Sejahtera Surabaya (LSS) dan dosen di Fakultas Fisipol, Universitas Airlangga.
Dalam kaitan keterlibatan lansia mencegah radikalisme, kata Pinky, mungkin yang masih perlu diberikan adalah hal-hal terkait teknologi informasi.
“Mengajari mereka teknik yang berkaitan dengan penggunaan media komunikasi informasi berbasis teknologi infomrasi ini saya kira penting, agar mereka melek IT. Dan itu tidak terlalu sulit, karena makin lama makin canggih dan makin mudah,” ujar Pinky kepada VOA.
Pinky hanya berpesan agar masyarakat menempatkan lansia sebagai subyek, dan bukannya obyek dalam berbagai kegiatan. Karena faktor usia, mereka memiliki pengalaman yang sebenarnya dapat memberdayakan generasi lebih muda. Dalam masyarakat Indonesia, lansia juga mampu memberikan pengaruh sosial karena diposisikan sebagai pemberi arahan dan nasehat. Selain itu, lansia juga menjadi teman curhat dan berbagi pengalaman
“Dan kalau dia enak diajak ngomong dan berwibawa, maka kewibawaannya ini bisa menjadi sarana untuk memberi pengaruh. Dalam konteks pengaruh inilah, lansia bisa menjalankan peran mulai dari mendorong kesadaran dan perubahan yang harus dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal berbau fundamentalisme, intoleran dan, radikalisme,” tambahnya. [ns/ah]