Laporan HRW: Perempuan Rohingya Diperkosa Beramai-ramai oleh Tentara Myanmar

Pria Muslim Rohingya Sultan Mehmood (62) dan istrinya Haseena Begum (45) duduk di dalam tempat penampungan mereka dekat kamp pengungsi Balukhali, Bangladesh, 26 September 2017 (Foto: dok). Pasangan tersebut tinggal di kampung halaman mereka saat kekerasan meletus di Myanmar.

Tentara di Myanmar telah memperkosa beramai-ramai perempuan Rohingya, dalam kekerasan yang terus berlangsung terhadap masyarakat minoritas Muslim di negara bagian Rakhine, demikian menurut laporan Human Rights Watch (HRW).

HRW menyebut wawancara langsung dengan 52 perempuan Rohingya dewasa dan anak-anak yang melarikan diri ke Bangladesh dan melapor telah diperkosa oleh pasukan keamanan di Myanmar.

Skye Wheeler, peneliti hak-hak perempuan di HRW dan penulis laporan itu, mengatakan, perkosaan telah menjadi sorotan menonjol dari kampanye pembersihan etnis oleh militer Myanmar terhadap Rohingya. Tindak kekerasan yang keji oleh militer Myanmar telah membuat tak terhitung lagi perempuan dewasa dan anak-anak mengalami cedera dan trauma. Semua, kecuali satu orang yang diwawancara, yang diperkosa beramai-ramai, sebut HRW.

HRW juga berbicara dengan berbagai organisasi kemanusiaan di Bangladesh yang telah melaporkan “ratusan” kasus perkosaan. Jumlah korban perkosaan kemungkinan besar lebih banyak, karena stigma sosial membuat banyak perempuan membungkam.

Jumlah tersebut juga tidak mencakup mereka yang dibunuh setelah diperkosa.

Selain mengalami depresi dan gangguan stress pasca trauma, para korban melaporkan mengalami luka yang tidak diobati seperti luka di bagian kemaluan, perdarahan, dan infeksi, sebut laporan HRW.

Lebih dari 600 ribu Muslim Rohingya telah meninggalkan Rakhine, Myanmar sejak 25 Agustus, setelah pemberontak menyerang pasukan keamanan dan memicu penindakan keras yang brutal oleh militer, yang dianggap sebagai pembersihan etnis.

Pemerintah Myanmar telah berulang kali membantah klaim bahwa kekejaman, termasuk perkosaan dan pembunuhan ekstra-judisial, terjadi di bagian utara Rakhine, pusat kekerasan yang dianggap PBB sebagai contoh pembersihan etnis.

Pada September lalu, menteri keamanan perbatasan Rakhine membantah laporan mengenai perkosaan oleh pasukan keamanan di negara bagian tersebut.

Myanmar tidak mengakui Rohingya dan tidak menganggap mereka sebagai warganegaranya. Rohingya disebut sebagai “Benggali”, menyiratkan asal-usul mereka di Bangladesh.

Meskipun Aung San Suu Kyi dikritik karena menghindari tuduhan penganiayaan, banyak pemerintah negara Barat enggan mengesampingkannya selama periode transisi yang rapuh ke demokrasi. [uh]