Larangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Buat Konsumen Dunia ‘Kelabakan’

Tangki penyimpanan minyak sawit terlihat di pabrik penyulingan berbasis minyak sawit milik Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) di Marunda, Jawa Barat 30 Maret 2011. (Foto: REUTERS/Enny Nuraheni)

Kebjiakan Presiden Joko Widodo yang melarang ekspor minyak sawit berbuntut Panjang. Eksporter tidak memiliki pilihan selain membayar mahal untuk mendapatkan pasokan komoditas tersebut. Padahal pasokan minyak sawit di dunia juga berkurang akibat cuaca buruk dan invasi Rusia ke Ukraina. Dua negara tersebut merupakan importer minyak bunga matahari.

Pengamat industri memprediksi langkah Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia yang melarang ekspor mulai Kamis, akan mengangkat harga semua minyak nabati utama, termasuk minyak sawit, minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak canola. Hal tersebut akan memberikan tekanan ekstra pada konsumen yang sensitif terhadap biaya di Asia dan Afrika yang terkena dampak harga bahan bakar dan makanan yang lebih tinggi.

"Keputusan Indonesia tidak hanya memengaruhi ketersediaan minyak sawit, tetapi juga minyak nabati di seluruh dunia," James Fry, ketua konsultan komoditas LMC International, mengatakan kepada Reuters.

Pekerja memasang pipa untuk memompa minyak sawit mentah (CPO) ke kapal tanker di pelabuhan Belawan di Provinsi Sumatera Utara, 21 Februari 2013. (Foto: REUTERS/Roni Bintang)

Minyak kelapa sawit – yang digunakan dalam banyak hal, mulai dari kue dan lemak penggorengan hingga kosmetik dan produk pembersih - menyumbang hampir 60 persen dari pengiriman minyak nabati global. Indonesia menyumbang sekitar sepertiga dari semua ekspor minyak nabati. Pemerintah mengumumkan larangan ekspor komoditas tersebut pada 22 April dan langkah itu akan berlaku hingga pemberitahuan lebih lanjut, sebagai langkah untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng domestik.

"Ini terjadi ketika tonase ekspor semua minyak utama lainnya berada di bawah tekanan: minyak kedelai karena kekeringan di Amerika Selatan; minyak kanola karena gagal panen di Kanada; dan minyak bunga matahari karena perang Rusia di Ukraina," kata Fry.

BACA JUGA: Jokowi Larang Ekspor Minyak Goreng dan CPO Mulai 28 April

Harga minyak nabati telah meningkat lebih dari 50 persen dalam enam bulan terakhir karena faktor dari kekurangan tenaga kerja di Malaysia hingga kekeringan di Argentina dan Kanada - masing-masing pengekspor minyak kedelai dan minyak kanola terbesar - membatasi pasokan.

Pembeli berharap panen bunga matahari dari eksporter utama Ukraina akan mengurangi kesulitan pasokan, tetapi suplai dari Kyiv telah berhenti karena invasi Moskow.

Hal ini telah mendorong importir untuk mengandalkan minyak kelapa sawit untuk dapat menutup kesenjangan pasokan sampai larangan mengejutkan Indonesia memberikan "kejutan ganda" kepada pembeli, kata Atul Chaturvedi, presiden badan perdagangan Solvent Extractors Association of India (SEA).

Warga antre membeli minyak goreng murah dari operasi pasar di Surabaya, Jawa Timur, 18 Februari 2022. (Foto: Juni Kriswanto/AFP)

Tidak Ada Alternatif

Importer seperti India, Bangladesh dan Pakistan akan mencoba meningkatkan pembelian minyak sawit dari Malaysia. Namun produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia itu tidak dapat mengisi celah yang selama merupakan bagian Indonesia, kata Chaturvedi.

Indonesia biasanya memasok hampir setengah dari total impor minyak sawit India, sementara Pakistan dan Bangladesh mengimpor hampir 80 persen minyak sawit mereka dari Indonesia.

"Tidak ada yang bisa mengkompensasi hilangnya minyak sawit Indonesia. Setiap negara akan menderita," kata Rasheed JanMohd, Ketua Pakistan Edible Oil Refiners Association (PEORA).

Pada Februari, harga minyak nabati melonjak ke rekor tertinggi karena pasokan minyak bunga matahari terganggu dari wilayah Laut Hitam.

BACA JUGA: Prioritaskan Kebutuhan Domestik, RI Batasi Ekspor Minyak Sawit

Desakan Malaysia

Sementara itu, Dewan Minyak Sawit Malaysia pada Senin (25/4) mengatakan sudah waktunya bagi negara-negara untuk mempertimbangkan kembali prioritas makanan versus bahan bakar mereka. Mereka melihat keputusan Indonesia untuk melarang ekspor minyak sawit telah memicu "krisis" kekurangan minyak nabati global.

"Sangat penting bagi negara-negara untuk memastikan minyak dan lemak yang tersedia digunakan untuk makanan dan... untuk sementara menghentikan atau mengurangi mandat biodiesel mereka," Direktur Jenderal Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) Ahmad Parveez Ghulam Kadir mengatakan kepada Reuters.

Minyak sawit, minyak nabati yang paling banyak digunakan, juga digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Produsennya mengatakan mereka tidak dapat memenuhi kesenjangan pasokan global yang akan dipicu oleh larangan ekspor minyak sawit Indonesia yang akan mulai berlaku pada 28 April. [ah/rs]