Larangan Salat Berjemaah Tak Langgar Kebebasan Beragama

Salat Jumat di era pandemi corona, di sebuah masjid di Bandung, Jawa Barat, 20 Maret 2020. (AP Photo/Ahmad Fauzan)

Pemerintah memutuskan untuk melarang pelaksanaan ibadah berjemaah termasuk salat Idul Fitri di masjid atau lapangan. Larangan tersebut dinilai tak melanggar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan karena sedang menghadapi pandemi corona. 

Aktivis Nahdlatul Ulama (NU), Maria Ulfah Anshor menilai apa yang dilakukan pemerintah terkait larangan melakukan shalat berjemaah di tengah pandemi corona tidak menyalahi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan karena demi kemaslahatan orang banyak.

"Dari sisi keagamaan bahwa pembatasan hak kebebasan beragama berkeyakinan bisa dibenarkan karena kita semua punya kewajiban untuk menjaga jiwa, akal pikiran, harta, keturunan, dan agama. Dalam beberapa hal pembatasan hak kebebasan beragama berkeyakinan dimaksudkan untuk itu," kata Maria dalam diskusi daring bertema COVID-19 dan Peran Agamawan di Indonesia, Jumat (22/25)

Your browser doesn’t support HTML5

Larangan Salat Berjemaah Tak Langgar Kebebasan Beragama

Maria mengungkapkan berdasarkan kovenan (perjanjian), hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat dibatasi. Pembatasan itu, katanya, harus berdasarkan hukum yang melindungi lima hal, yakni keselamatan, ketertiban, kesehatan, moral dan kebebasan mendasar masyarakat. "Dalam konteks penanganan virus corona maka pembatasan ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Maka bisa dilakukan," ujarnya.

Diskusi daring tentang COVID-19 dan Peran Agamawan di Indonesia, Jumat 22 Mei 2020. (Tangkapan layar).

Agar tak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat menurut Maria, peran tokoh agama dan organisasi keagamaan sangat dibutuhkan dalam mensosialisasikan kebijakan penanganan virus corona.

"Perannya adalah kontribusi teologis agama seperti penerbitan fatwa atau imbauan keagamaan. Kemudian, filantropi keagamaan (penggalangan donasi). Peran pendidikan dan penyadaran masyarakat itu dilakukan oleh tokoh agama," ungkapnya.

BACA JUGA: Kontroversi Salat Idul Fitri di Tengah Pandemi

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily. "Menurut saya penting juga para agamawan mengetahui secara utuh tentang anatomi dari virus corona, dan kenapa kerumunan seperti di tempat ibadah untuk dihindari. Ini penting untuk dijelaskan ke masyarakat," ujar Ace yang juga menjadi pembicara dalam diskusi daring tersebut.

"Agamawan harus mampu untuk tetap menumbuhkan nilai-nilai kebajikan dari agama kita semua. Itu harus tercermin dalam upaya kita menghadapi virus corona," tambahnya.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily, dalam diskusi daring tentang COVID-19 dan Peran Agamawan di Indonesia, Jumat 22 Mei 2020. (Tangkapan layar).

Masih kata Ace, Komisi VIII DPR yang memiliki ruang lingkup tugas di bidang keagamaan dan sosial ini juga beberapa kali mendorong tim gugus tugas penanganan virus corona agar melibatkan agamawan. Setidaknya dalam memberikan imbauan soal kegiatan keagamaan.

"Kami melakukan upaya yang serius dalam konteks melibatkan agamawan. Pelibatan agamawan ini sangat penting. MUI, NU, dan Muhammadiyah luar biasa memberikan dukungan penanganan virus corona setidaknya imbauan mereka yang lakukan termasuk protokol kegiatan-kegiatan keagamaan," jelasnya.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi mengatakan selama ini tidak ada kerja sama yang meningkat antara pemerintah dan agamawan dalam rangka mengatasi virus corona. Padahal banyak alasan yang membuat pelibatan agamawan itu sangat penting dilakukan.

"Saya tidak melihat negara memanfaatkan agamawan seoptimal mungkin," tuturnya. [aa/ab]