Direktur LBH Yogyakarta, Hamzal Wahyudin memastikan telah terjadi pelanggaran hukum dan HAM pada pembubaran paksa workshop musik bertajuk 'Lady Fast' yang diselenggarakan komunitas perempuan Kolektif Betina di daerah Bugisan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu malam (2/4).
“Ada persoalan tindak pidana yang terjadi yaitu bahwa ada caci-makian yang diucapkan oleh sekelompok orang terhadap komunitas yang terlibat dalam acara tersebut. Dan itu masuk dalam pidana ujaran kebencian. Yang kedua ada pelanggaran HAM terjadi yaitu Undang Undang nomor 12/Tahun 2005 dimana hak warga negara untuk berkumpul, berdiskusi, berserikat dan itu dilindungi secara hukum,” ungkap Hamzal.
Andina Septia, penyelenggara acara mengatakan workshop musik Lady Fast diadakan terbatas untuk anggota Kolektif Betina yang datang dari beberapa kota. Tempat yang dipilih tidak terlalu besar yaitu ruang seni berbasis komunitas Survive Garage di Bugisan Bantul. Survive Garage sudah 6 tahun beroperasi dan sering menyelenggarakan workshop seni dan tidak pernah ada masalah.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Dina, workshop musik rencananya akan berlangsung Sabtu dan Minggu. Sesuai jadwal, workshop dibuka pagi hari diramaikan dengan pameran seni, lapak kerajinan, dan diskusi. Namun setengah jam menjelang berakhirnya hiburan musik, datang sekelompok orang yang mengatasnamakan agama Islam memaksa agar acara dibubarkan.
“Jam sepuluh kami kedatangan sekitar 15 orang yang tidak mengidentifikasi dari mana mereka berasal. Mereka menuntut acara dibubarkan saat itu juga. Pemilik tempat dan panitia berusaha menjelaskan tentang acara Lady Fast tetapi ditanggapi oleh kelompok tersebut dengan makian dan kata-kata yang mengintimidasi. Perwakilan Lady Fast terus berusaha berdialog dengan kelompok tersebut justru dibalas dengan makian dan hinaan, menuding kami merusak moral dan pakaian kami menodai. Dikatakan tempat maksiat, mengeluarkan tuduhan komunis dan mengancam bahwa 500 orang akan menyerang acara kami,” tutur Dina.
Juwadi, warga Bugisan yang datang menonton bersama isterinya yang sedang hamil 5 bulan dan seorang anaknya menyayangkan tindakan intimidasi dan pembubaran paksa Lady Fast.
“Acara 'Lady Fast' yang diorganisir oleh teman-teman perempuan ini akan menjadi ruang yang family-friendly (ramah keluarga), asumsi kami. Kami sedang bahwa anak kami datang kesitu dan ketemu anak-anak kecil lain dan main-main. Tiba-tiba ada teriakan Allahu Akbar, Allahu Akbar anak saya ketakutan lalu keluar sama isteri saya dan setelah di luarpun terjadi keributan tiba-tiba terdengar suara tembakan yang ditembakkan oleh seorang polisi yang memakai seragam sipil tidak jauh dari isteri saya dan anak saya,” kata Juwadi.
Bayu Widodo, pengelola Survive Garage mengatakan ia tidak bisa menerima tuduhan-tuduhan yang disampaikan kelompok yang melakukan intimidasi tersebut. Ia menegaskan, “Saya dan teman-teman tidak bisa menerima, misalnya, mereka mengatakan bahwa tempat ini tempak maksiat. Saya mengklarifikasi tentang kegiatan, juga Dina menjlaskan kepada polisi juga menjelaskan tentang kegiatan. Kita juga sempat berkoordinasi dengan LBH soal ijin. Survive (garage) itu rumah kontrakan dan sekarang masih disegel. Dari kepolisian sudah selesai tetapi kita menunggu musyawarah dengan warga dan dengan pemilik rumah.”
Anang dari Kelompok Solidaritas Jogja Damai terdiri berbagai kelompok dan aktivis juga mengecam keras intimidasi yang dilakukan kelompok Islam yang datang bersama polisi tersebut.
“Kami mendorong dan mendesak kepada negara mempunyai keberpihakan kepada acara-acara yang kemudian bertujuan untuk aktivitas positif. Dan kami mengecam keras terhadap sekelompok orang yang mengatas-namakan agama bahwa proses pembubaran dan intimidasi menjadikan banyak kawan-kawan komunitas dan kawan-kawan jaringan menjaid matinya karakter dan kemudian matinya kebebasan berekspresi dalam bentuk apapun,” ujar Anang.
Insiden ini hanya berselang dua bulan dari insiden penyerbuan serupa yang dilakukan sekelompok massa yang mengatasnamakan diri sebagai Front Jihad Islam (FJI) menyebarluaskan ajakan untuk menolak keberadaan Pondok Pesantren Al Fatah di Banguntapan, Yogyakarta pada 19 Februari lalu, yang memaksa penghuni pondok pesantren yang sebagian besar kaum waria dan transgender mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Tak sampai sepuluh hari, tepatnya pada 27 Februari, ratusan massa yang mengatasnamakan Gerakan Pemuda Cinta Bangsa (GPCB) berunjukrasa menolak Festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki, Jakarta yang sedianya menjadi ajang diskusi dan pemutaran film tentang gerakan kiri di Indonesia.
LBH Yogyakarta dan Solidaritas Jogja Damai mengatakan akan mendiskusikan langkah-langkah hukum yang akan dilakukan untuk mendampingi korban intimidasi. [ms/em]