Tanggal 10 Oktober adalah Hari Kesehatan Mental Sedunia. WHO menggunakan kesempatan itu untuk menyerukan diakhirinya stigma terhadap mereka yang menderita depresi atau gangguan jiwa.
Dr. Saxena, direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Obat Terlarang di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengatakan lebih dari 350 juta orang di seluruh dunia menderita depresi.
“Ketika kita berbicara mengenai depresi, kita membicarakan tentang gangguan jiwa, yang sangat khusus diluar perasaan sedih yang sesekali biasa kita rasakan,” papar Saxena.
Selanjutnya, ia mengatakan, “Gangguan depresi ditandai dengan kesedihan berkelanjutan selama dua minggu atau lebih dan juga gangguan pada saat kerja kita sehari-hari atau kegiatan yang kita lakukan sehari-hari. Jadi itu sebenarnya penyakit, bukan hanya sekedar keadaan emosional.”
Ada banyak penyebab gangguan ini, seperti diungkapkan dr. Saxena.
"Ada beberapa penyebab biologis - perubahan dalam neurotransmitter di otak - tetapi juga faktor kepribadian dan lingkungan, yang semuanya menimbulkan apa yang kemudian kita lihat sebagai sindrom depresi," kata dr. Saxena.
Dr. Saxena mengatakan para praktisi kesehatan yang terlatih harus dapat mendiagnosis depresi tidak hanya dengan pemeriksaan fisik, tetapi juga dengan mengajukan pertanyaan yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan itu berpusat pada keadaan emosi seseorang. Apakah orang itu bersedih dan menangis dalam jangka waktu yang lama? Apakah orang tersebut merasa rendah diri, merasa bahwa kehidupan ini tidak ada artinya atau punya keinginan bunuh diri?
WHO memperkirakan satu juta orang melakukan bunuh diri setiap tahunnya karena ”sebagian besar mengalami depresi”. Juga dikatakan satu dari setiap lima ibu yang baru melahirkan menderita depresi pasca melahirkan.
Sebuah studi yang didukung WHO baru-baru ini melaporkan bahwa sekitar 5 persen warga berbagai komunitas tertentu mengalami depresi selama satu tahun terakhir.
"Depresi adalah masalah global. Di seluruh wilayah di dunia memiliki angka depresi yang hampir sama. Pada kenyataannya, ada mitos yang mengatakan depresi sangat umum dijumpai di negara-negara maju, dan mungkin tidak terlihat di negara-negara berkembang. Ini benar-benar persepsi salah. Negara-negara miskin dan masyarakat miskin, termasuk di Afrika, sebenarnya sangat rentan terhadap depresi karena tingkat stres yang sangat tinggi, serta kondisi fisik lainnya, seperti HIV/ AIDS, penyakit kronis dan faktor-faktor sosial dan ekonomi lainnya,” papar dr. Saxena.
Meskipun banyak penyebabnya, Saxena mengatakan banyak juga cara pengobatannya, termasuk obat-obatan dengan harga murah. Juga terapi dan intervensi psikologis dan sosial lainnya.
WHO memperingatkan stigma adalah masalah besar yang mencegah banyak orang mencari bantuan.
Dr. Saxena mengatakan bahwa sangat penting setiap orang melihat depresi sebagai suatu kondisi dan mengawasi dirinya sendiri dan orang-orang terdekat mereka. Mendukung mereka untuk mencari pengobatan dan mengungkapkan bahwa seseorang dapat menderita masalah ini. Stigma dapat dihilangkan dengan pengetahuan dan sikap yang tepat.
Program Aksi Kesehatan Mental WHO melatih para petugas kesehatan di negara-negara berpendapatan rendah untuk mengenali gangguan mental dan memberikan pengobatan.
“Ketika kita berbicara mengenai depresi, kita membicarakan tentang gangguan jiwa, yang sangat khusus diluar perasaan sedih yang sesekali biasa kita rasakan,” papar Saxena.
Selanjutnya, ia mengatakan, “Gangguan depresi ditandai dengan kesedihan berkelanjutan selama dua minggu atau lebih dan juga gangguan pada saat kerja kita sehari-hari atau kegiatan yang kita lakukan sehari-hari. Jadi itu sebenarnya penyakit, bukan hanya sekedar keadaan emosional.”
Ada banyak penyebab gangguan ini, seperti diungkapkan dr. Saxena.
"Ada beberapa penyebab biologis - perubahan dalam neurotransmitter di otak - tetapi juga faktor kepribadian dan lingkungan, yang semuanya menimbulkan apa yang kemudian kita lihat sebagai sindrom depresi," kata dr. Saxena.
Dr. Saxena mengatakan para praktisi kesehatan yang terlatih harus dapat mendiagnosis depresi tidak hanya dengan pemeriksaan fisik, tetapi juga dengan mengajukan pertanyaan yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan itu berpusat pada keadaan emosi seseorang. Apakah orang itu bersedih dan menangis dalam jangka waktu yang lama? Apakah orang tersebut merasa rendah diri, merasa bahwa kehidupan ini tidak ada artinya atau punya keinginan bunuh diri?
WHO memperkirakan satu juta orang melakukan bunuh diri setiap tahunnya karena ”sebagian besar mengalami depresi”. Juga dikatakan satu dari setiap lima ibu yang baru melahirkan menderita depresi pasca melahirkan.
Sebuah studi yang didukung WHO baru-baru ini melaporkan bahwa sekitar 5 persen warga berbagai komunitas tertentu mengalami depresi selama satu tahun terakhir.
"Depresi adalah masalah global. Di seluruh wilayah di dunia memiliki angka depresi yang hampir sama. Pada kenyataannya, ada mitos yang mengatakan depresi sangat umum dijumpai di negara-negara maju, dan mungkin tidak terlihat di negara-negara berkembang. Ini benar-benar persepsi salah. Negara-negara miskin dan masyarakat miskin, termasuk di Afrika, sebenarnya sangat rentan terhadap depresi karena tingkat stres yang sangat tinggi, serta kondisi fisik lainnya, seperti HIV/ AIDS, penyakit kronis dan faktor-faktor sosial dan ekonomi lainnya,” papar dr. Saxena.
Meskipun banyak penyebabnya, Saxena mengatakan banyak juga cara pengobatannya, termasuk obat-obatan dengan harga murah. Juga terapi dan intervensi psikologis dan sosial lainnya.
WHO memperingatkan stigma adalah masalah besar yang mencegah banyak orang mencari bantuan.
Dr. Saxena mengatakan bahwa sangat penting setiap orang melihat depresi sebagai suatu kondisi dan mengawasi dirinya sendiri dan orang-orang terdekat mereka. Mendukung mereka untuk mencari pengobatan dan mengungkapkan bahwa seseorang dapat menderita masalah ini. Stigma dapat dihilangkan dengan pengetahuan dan sikap yang tepat.
Program Aksi Kesehatan Mental WHO melatih para petugas kesehatan di negara-negara berpendapatan rendah untuk mengenali gangguan mental dan memberikan pengobatan.