Pro-Kontra Legalisasi Ganja Sebagai Obat di Masa Depan

  • Nurhadi Sucahyo

Hukum di Indonesia melarang penanaman ganja di wilayah Indonesia (foto: ilustrasi).

Kisah seorang suami yang diadili karena menanam ganja untuk obat bagi istrinya menuai simpati publik. Bahkan kini muncul perdebatan perlunya mempertimbangkan ganja sebagai obat di masa depan.

Apa yang menimpa Fidelis Ari Sudewarto, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, melahirkan perdebatan soal penggunaan ganja bagi pengobatan. Di media sosial juga muncul dukungan agar Fidelis tidak dihukum karena dia menanam ganja demi mengobati istrinya. Simpati publik mengalir, setelah nota pembelaan Fidelis yang dibacakan di muka sidang tersebar di media sosial. Meskipun menanam 39 pohon ganja, Fidelis terbukti tidak menggunakan untuk dirinya sendiri maupun orang lain, selain istrinya.

“Sejak saya ditahan, saya tidak lagi memiliki kebebasan untuk selalu berada di samping istri saya yang sakit hingga akhirnya istri saya meninggal dunia. Padahal, selama ini sayalah yang paling mengerti dan memahami tentang keadaan dan kondisi istri saya. Penahanan terhadap saya membuat saya tidak punya kesempatan untuk menjelaskan banyak hal kepada istri saya,” kata Fidelis di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat pada 19 Juli lalu.

Kisah ini bermula ketika istri Fidelis, Yeni Riawati, didiagnosa menderita syringomyelia pada 2013. Dokter telah memberinya banyak obat, namun tidak satupun membawa kesembuhan. Ada alternatif tindakan operasi, namun melihat kondisi Yeni, dokter menyatakan tidak berani mengambil risiko. Kondisi Yeni semakin lemah, sampai akhirnya Fidelis berkomunikasi lewat media sosial dengan seorang warga Kanada, Christina Evans. Dari Christina inilah, Fidelis memperoleh informasi bahwa syringomyelia dapat dirawat dengan ekstrak ganja.

Syringomyelia adalah penyakit di mana terdapat kista berisi cairan di dalam sumsum tulang belakang. Kondisi ini menyebabkan rasa nyeri luar biasa bagi penderitanya.

Namun, tindakan Fidelis ini melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Kepala Badan Narkotika Nasional, Budi Waseso dalam berbagai kesempatan menyatakan tidak ada maaf dan pengampunan karena menanam ganja dilarang. Budi juga tidak percaya kepada alasan Fidelis, bahwa upaya menanam ganja itu bertujuan mengobati istrinya.

"Itu dari mana penyembuhannya? Kan harus dibuktikan dulu penyembuhannya. Kata siapa itu menyembuhkan. Penelitian medis belum ada, ini jangan dipakai untuk alat pembenaran, sehingga ada keinginan dari beberapa kelompok masyarakat, LSM yang menginginkan ganja itu dibebaskan, salah satunya dengan alasan untuk pengobatan. Buktinya apa? Jangan dulu menyimpulkan," kata Budi Waseso kepada para jurnalis di Jakarta.

Your browser doesn’t support HTML5

Legalisasi Ganja Sebagai Obat di Masa Depan

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero menilai, kasus ini tidak sepenuhnya bisa dinilai dari sisi penegakan aturan hukum. Hukum juga bertugas memberikan keadilan, dan hakim boleh menafsirkan keadilan itu dengan melihat fakta di persidangan.

Yohan mengakui Fidelis melakukan pelanggaran hukum. Dalam undang-undang yang berlaku, ganja adalah psikotropika golongan 1. Fakta itu tidak dapat dibantah, namun di sisi lain, hukum harus memahami atas dasar apa tindakan itu dilakukan Fidelis.

“Mahkamah Agung sudah tahu ada beberapa problem dalam UU Narkotika. Kemudian MA sudah mengeluarkan 3 surat edaran, dua di antaranya menyatakan bahwa dalam konteks pemakai dikenai pasal kepemilikan, hakim boleh memvonis di bawah pidana minimum. Tetapi tentu belum ada bahasan untuk kasus seperti Fidelis ini. Tetapi jelas MA membuka ruang kemanusiaan untuk memutus perkara di bawah pidana minimum,” ujar Yohan.

Yohan juga mendesak dilakukannya perubahan perundangan di Indonesia yang tidak lagi menempatkan ganja sebagai psikotropika golongan 1. Perubahan status itu memungkinkan adanya penelitian manfaat medis ganja, sehingga dapat digunakan secara legal.

“Ini adalah momen kita memikirkan ulang tentang kebijakan narkotika kita. kenapa tidak mempermudah proses riset tentang ganja medis, atau yang lebih ekstrem mencabut larangan penggunaan zat atau tanaman golongan 1 untuk kepentingan medis. Toh pada akhirnya untuk bisa beredar, obat harus dapat izin Balai POM, artinya tetap ada kontrol negara di situ.”

Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Dr Zullies Ikawati memiliki pandangan yang sama dengan Yohan. Dia mencontohkan, di Indonesia morfin dapat dikonsumsi secara legal dengan resep dokter dan dalam pengawasan ketat. Fungsinya adalah menghilangkan rasa sakit terutama bagi mereka yang menderita penyakit seperti kanker atau pengidap HIV-AIDS dalam kondisi tertentu. Di sejumlah negara, kata Zullies, sudah ada penelitian dan pemanfaatan ganja dari sisi medis. Pada gilirannya nanti dimungkinkan, bahwa menanam pohon ganja tanpa izin resmi tetap masuk dalam daftar terlarang, tetapi obat yang dihasilkan dari daun ini legal dikonsumsi.

“Kalau memakai langsung, tentu ada masalah hukum. Kami pernah ada satu usulan mengenai ini. Dalam UU Narkotika itu ganja itu masuk golongan 1, itu mungkin perlu ditinjau kembali. Ganja, heroin dan kokain itu masuk golongan 1 karena belum dipakai sebagai bahan obat selama ini. Kalau misalnya ganja mau dikembangkan sebagai obat, sehingga nanti pemakaiannya memiliki regulasi tertentu, di bawah resep dokter, itu bisa saja nantiya ganja dijadikan sebagai obat,” ungkap Zullies.

Di sejumlah negara, tambah Zullies, obat turunan ganja telah dijual dengan resep dokter, salah satunya Marinol. Pada kasus di mana masyarakat di Indonesia membutuhkan, dia menyarankan untuk tidak menanam ganja dan mengekstraknya sendiri. Lebih baik, tambah Zullies, masyarakat mencari cara agar dapat mengaksesnya secara legal.

“Ganja ini tidak menyembuhkan, hanya menghilangkan rasa sakit, dan kemungkinan ketergantungannya tetap ada. Karena itu harus diatur dengan ketat. Bagi masyarakat, kalau tidak mau berhadapan dengan hukum, aksesnya harus legal.”

Fidelis akan menerima vonis hakim Pengadilan Negeri Sanggau pada 2 Agustus 2017 nanti. Dukungan masyarakat yang terus mengalir akan menerima jawabannya ketika hakim mengetuk palu. [ns/uh]