Para anggota DPR AS, Kamis (1/2) akan meluncurkan kaukus bipartisan pertama mengenai Myanmar untuk menekan pemerintah AS agar bertindak terkait krisis di negara Asia Tenggara itu sejak militer melakukan kudeta tiga tahun silam, menurut sebuah pernyataan.
Anggota dari fraksi Republik, Bill Huizenga, dan anggota Demokrat Betty McCollum akan memimpin Kaukus Myanmar di Kongres. Menurut pernyataan dari kedua legislator itu, kaukus itu dimaksudkan untuk meningkatkan dukungan Kongres bagi perjuangan demokrasi dan HAM di negara tersebut.
Militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari tiga tahun silam, menahan para tokoh demokrasi termasuk peraih Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dan memicu pemberontakan prodemokrasi yang dipimpin para pemuda yang kemudian berubah menjadi gerakan perlawanan bersenjata setelah tindakan keras pemerintah yang mematikan.
“Krisis kemanusiaan di Myanmar telah meningkat ke level yang memerlukan perhatian mendesak dari pimpinan Kongres,” menurut pernyataan kedua legislator itu, yang dibagikan kepada Reuters sebelum pengumuman pada hari Kamis.
Kaukus ini diperkirakan akan beranggotakan sedikitnya 30 legislator sebagai anggota awal, menurut Kristiana Kuqi dari Campaign for a New Myanmar, kelompok advokasi yang membantu pembentukan kaukus itu, antara lain untuk membuat perhatian tetap fokus pada Myanmar sementara isu-isu seperti perang di Ukraina dan Gaza, persaingan AS dengan China, mendominasi diskusi di Washington.
“Semakin besar keterlibatan Kongres dan staf Kongres … semakin mampu kita mendesakkan pengaruh” terhadap Myanmar, kata Kuqi.
Para aktivis menginginkan pemerintahan presiden AS Joe Biden memberi lebih banyak dukungan bagi kekuatan antikudeta di Myanmar setelah Kongres tahun lalu meloloskan legislasi yang memungkinkan pemerintah AS memberi mereka bantuan nonletal, dan untuk membentuk kelompok penasihat untuk memutuskan apa yang harus dilakukan dengan sekitar $1 miliar aset Myanmar yang dibekukan oleh pemerintah AS setelah kudeta.
Washington hari Rabu mengumumkan sanksi-sanksi baru terhadap berbagai perusahaan dan individu yang memiliki kaitan dengan militer, yang ditujukan pada bahan bakar yang digunakan untuk melakukan serangan udara yang sering menargetkan warga sipil, serta kemampuan militer untuk memproduksi senjata. [uh/ab]