Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga menyebut bentuk-bentuk penyiksaan yang ditemukan 5 lembaga negara antara lain kelebihan kapasitas, minimnya pelayanan kesehatan dan terpidana hukuman mati telah menjalani hukuman lebih dari 10 tahun. Empat lembaga yang memantau soal ini yaitu Komnas Perempuan, Ombudsman, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Di samping itu, kata dia, bentuk perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat juga masih dialami orang dengan gangguan jiwa dan penyandang disabilitas di panti sosial dan rumah sakit jiwa.
BACA JUGA: Jumlah Napi Membludak, Pemerintah Diminta Optimalkan Alternatif Pemidanaan Non Pemenjaraan"Kita semua tahu bahwa akar masalah tidak hanya penyiksaan semata. Jadi fokus kami di tempat tahanan dan serupa tahanan. Jadi bisa dia tidak disiksa secara fisik atau dipukul. Tetapi kondisi tempat-tempat itu yang tidak memadai membuat mereka diperlakukan tidak manusiawi," tutur Sandrayati di kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Sementara itu Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan lembaganya juga menemukan sejumlah maladministrasi dari hasil pantauan di 54 lapas di berbagai daerah. Salah satunya yaitu belum terpenuhinya kebutuhan sehari-hari dan informasi bagi para tahanan.
"Air minum masih beli, air mandi di beberapa wilayah harus beli karena air mandinya tidak putih lagi, putihnya sejam setelah itu berubah warna. Makanan sekarang sudah ada perbaikan, tapi nilai biaya untuk para narapidana tidak cukup besar yakni Rp14-Rp16 ribu untuk 3 kali makan," jelas Ninik.
Kekerasan serupa juga terjadi pada anak. Anggota KPAI Rita Pranawati mengatakan kekerasan kepada anak tersebut berupa kekerasan fisik, psikis dan seksual. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena sistem peradilan anak yang sudah ada belum dapat dilaksanakan oleh aparat.
"Sebenarnya di dalam sistem undang-undang peradilan anak, penahanan di kepolisian itu opsi terakhir. Tapi faktanya sebagian besar anak masih ditahan dan masih anak yang tidak didampingi saat BAP. Sehingga potensi mengalami kekerasan semakin tinggi," jelas Pranawati.
Atas dasar tersebut, 5 lembaga negara ini juga mendorong pemerintah untuk meratifikasi protokol opsional konvensi Anti-Penyiksaan (OPCAT). Protokol ini penting untuk menghapus praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.
Di samping itu, mereka juga akan menyisir undang-undang dan aturan-aturan yang berpotensi menimbulkan penyiksaan terhadap warga negara. Hasil penyisiran tersebut nantinya akan dikaji dan dijadikan masukan bagi lembaga-lembaga terkait seperti kepolisian dan Kemenkumham.
Kendala Perlindungan Korban Penyiksaan
Kendati demikian, Anggota LPSK Susilaningtyas mengatakan masih ada kendala dalam pemberian perlindungan terhadap korban dan saksi kekerasan. Sebab lembaganya hanya berwenang memberikan perlindungan bagi korban dan saksi yang kasusnya masuk ranah pidana. Sehingga kata dia, lembaganya tidak banyak mendapat permohonan perlindungan kasus penyiksaan dari masyarakat.
Your browser doesn’t support HTML5
"Permohonan dari 2012 ke 2017 itu tidak signifikan. Baru 2017 mengalami kenaikan sekitar 33 orang yang mengajukan permohonan perlindungan kasus penyiksaan. Kemudian 2018 ada 23 orang," jelas Susilaningtyas.
Susilaningtyas menambahkan lembaganya telah memberikan perlindungan kepada 28 orang selama tahun 2018 hingga Mei 2019. Sementara dari sisi pelaku tercatat berasal dari kepolisian, TNI dan petugas lapas. Menurutnya, kasus-kasus yang melibatkan aparat tersebut kerap mengalami kesulitan karena adanya penentangan dari instansi pelaku. (sm/em)