Lentera aneka warna menyinari jalanan di Mesir setiap bulan Ramadan, sebuah tradisi yang konon berasal dari jaman Firaun.
Selama bulan suci Ramadan, jalanan di Mesir pada malam hari dihiasi cahaya lentera warna-warni atau yang biasa disebut “fanous.” Beberapa kalangan menyebutkan bahwa tradisi ini berasal pada jaman Firaun, sementara yang lain mengatakan itu tradisi Kristen Koptik, tapi yang jelas fanous merupakan tradisi Ramadan khas Mesir.
Beberapa minggu menjelang Ramadan, pedagang seperti Ahmed Abu Kamel mulai bermunculan di pasar dan jalanan Kairo untuk menjual fanous (atau fawanees dalam bentuk plural).
“Para pekerja membuat fanous jauh-jauh hari, dan 20 hari menjelang Ramadan, Anda bisa melihat fawanees di sepanjang jalan El Sad atau daerah Sayeda Zeinab," ujar Ahmed. “Jumlahnya sangat banyak, tidak hanya jutaan tapi miliaran. Bentuknya sangat indah dan ada beragam bentuk.”
Fawanees tradisional dibuat dari gelas dan kaleng dengan harga antara US$10 dan $20. Namun sekarang ini ada versi imitasi yang lebih murah buatan Tiongkok yang digerakkan oleh baterai dan dapat memainkan musik.
Ada banyak cerita mengenai bagaimana tradisi ini mulai. Salah satunya mengatakan bahwa lentera-lentera beraneka warna berevolusi sejak jaman Firaun. Selama lima malam, masyarakat Mesir kuno merayakan ulang tahun lima dewa penting dengan menyalakan obor untuk menerangi jalanan.
Kisah lain menceritakan bahwa tradisi lentera datang dari kaum Kristen Koptik, yang menggunakan lilin aneka warna pada waktu Natal. Namun ada juga cerita lain bahwa pada abad ke-10, anak-anak menggunakan lentera dan bernyanyi untuk menerangi jalan yang akan dilalui Kalifah Fatimid saat ia keluar mencari bulan sabit yang menandakan mulainya Ramadan.
Sekarang ini, nenek Amal Ahmed mengatakan bahwa anak-anak meminta dibelikan fanous baru di awal bulan Ramadan.
“Menjadi sebuah keharusan buat saya untuk membeli fanous untuk saya sendiri dan satu lagi untuk cucu laki-laki saya,” ujarnya.
Dulu anak-anak keluar pada malam hari membawa lentera mereka. Namun sekarang ini, mereka tinggal di rumah dan setelah berbuka puasa bersama keluarga, mereka memainkan lenteranya, seraya bernyanyi lagu tradisional untuk menyambut Ramadan dan menunggu hadiah dari sanak saudara.
Ahmed, 12, tinggal di negara bagian Virginia, AS. Ia mengunjungi saudara-saudaranya di Mesir musim panas ini dan ia mengatakan ia ingin melihat tradisi fanous.
“Kami mendapat hadiah-hadiah dari ibu, orangtua dan keluarga. Menyenangkan untuk anak-anak dan kami bermain bersama. Seluruh keluarga berkumpul, kami mendapat coklat dan semua menari,” ujar Ahmed.
Hadiah atau tanpa hadiah, tradisi fanous membuat malam-malam di Mesir tampak indah dan magis selama Ramadan.
Beberapa minggu menjelang Ramadan, pedagang seperti Ahmed Abu Kamel mulai bermunculan di pasar dan jalanan Kairo untuk menjual fanous (atau fawanees dalam bentuk plural).
“Para pekerja membuat fanous jauh-jauh hari, dan 20 hari menjelang Ramadan, Anda bisa melihat fawanees di sepanjang jalan El Sad atau daerah Sayeda Zeinab," ujar Ahmed. “Jumlahnya sangat banyak, tidak hanya jutaan tapi miliaran. Bentuknya sangat indah dan ada beragam bentuk.”
Fawanees tradisional dibuat dari gelas dan kaleng dengan harga antara US$10 dan $20. Namun sekarang ini ada versi imitasi yang lebih murah buatan Tiongkok yang digerakkan oleh baterai dan dapat memainkan musik.
Ada banyak cerita mengenai bagaimana tradisi ini mulai. Salah satunya mengatakan bahwa lentera-lentera beraneka warna berevolusi sejak jaman Firaun. Selama lima malam, masyarakat Mesir kuno merayakan ulang tahun lima dewa penting dengan menyalakan obor untuk menerangi jalanan.
Kisah lain menceritakan bahwa tradisi lentera datang dari kaum Kristen Koptik, yang menggunakan lilin aneka warna pada waktu Natal. Namun ada juga cerita lain bahwa pada abad ke-10, anak-anak menggunakan lentera dan bernyanyi untuk menerangi jalan yang akan dilalui Kalifah Fatimid saat ia keluar mencari bulan sabit yang menandakan mulainya Ramadan.
Sekarang ini, nenek Amal Ahmed mengatakan bahwa anak-anak meminta dibelikan fanous baru di awal bulan Ramadan.
“Menjadi sebuah keharusan buat saya untuk membeli fanous untuk saya sendiri dan satu lagi untuk cucu laki-laki saya,” ujarnya.
Dulu anak-anak keluar pada malam hari membawa lentera mereka. Namun sekarang ini, mereka tinggal di rumah dan setelah berbuka puasa bersama keluarga, mereka memainkan lenteranya, seraya bernyanyi lagu tradisional untuk menyambut Ramadan dan menunggu hadiah dari sanak saudara.
Ahmed, 12, tinggal di negara bagian Virginia, AS. Ia mengunjungi saudara-saudaranya di Mesir musim panas ini dan ia mengatakan ia ingin melihat tradisi fanous.
“Kami mendapat hadiah-hadiah dari ibu, orangtua dan keluarga. Menyenangkan untuk anak-anak dan kami bermain bersama. Seluruh keluarga berkumpul, kami mendapat coklat dan semua menari,” ujar Ahmed.
Hadiah atau tanpa hadiah, tradisi fanous membuat malam-malam di Mesir tampak indah dan magis selama Ramadan.