Presiden Joko Widodo berjanji untuk mengurangi sampah plastik hingga 70 persen pada tahun 2025. Hal tersebut disampaikannya ketika menghadiri acara One Ocean Summit Prancis secara virtual, Jumat (11/2).
“Berbagai upaya terus dijalankan mulai dari rencana aksi penanganan sampah plastik laut hingga pembangunan pembangkit listrik berbahan baku sampah yang mengkonversi 1.000 ton sampah per hari menjadi 10 Megawatt (MW) listrik,” ujar Jokowi.
Presiden mengatakan bahwa dalam presidensi G20, Indonesia juga akan menekankan pentingnya untuk memperkuat ekonomi biru, karbon biru dan penanganan sampah laut. Maka dari itu, Indonesia ujar Jokowi, juga siap bermitra dengan semua pihak demi mewujudkan ekosistem laut yang berkelanjutan. Ekonomi biru adalah konsep mengoptimalkan sumber daya perairan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi lewat berbagai kegiatan yang inovatif dan tetap menjamin keberlanjutan usaha dan kelestarian lingkungan.
Jokowi menyatakan Indonesia berkomitmen untuk mencapai target konservasi perairan laut seluas 32,5 juta hektare pada 2030.
“Sampai dengan tahun 2021 kami telah berhasil mencapai seluas 28,1 juta hektare atau 86,5 persen. Kami optimis komitmen kami di tahun 2030 bisa terpenuhi,” tuturnya.
Ekosistem mangrove, juga tidak luput dari perhatian pemerintah. Pihaknya pun menargetkan akan merehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare hingga 2024.
Dalam COP-26 lalu, Indonesia bersama-sama dengan negara-negara archipelagic dan island state forum menyerukan pentingnya keterkaitan antara laut dan perubahan iklim. Jokowi yakin dengan dukungan internasional, negara-negara kepulauan dan negara pulau kecil dapat menjadi bagian dari solusi.
Lebih jauh, Jokowi juga menekankan pentingnya menempatkan pengelolaan lingkungan laut dalam dimensi pembangunan berkelanjutan dan menjadi bagian untuk mendukung pemulihan ekonomi dari dampak pandemi.
“Kami telah mengambil langkah terobosan antara lain, kebijakan penangkapan ikan terukur dan berbasis kuota, yang didukung sistem pengawasan terintegrasi berbasis teknologi. serta pengembangan kampung perikanan budidaya berbasis kearifan lokal untuk pengentasan kemiskinan dan kelestarian komoditas bernilai ekonomi tinggi,” tuturnya.
BACA JUGA: Jokowi Tegaskan Dukungan Indonesia pada Transisi Penggunaan Energi HijauBerpotensi Merugikan Negara dan Risiko Polusi
Pengkampanye Urban Berkeadilan Wahana Lingkunan Hidup (WALHI) Nasional Abdul Ghofar mengatakan kebijakan mengubah sampah menjadi energi listrik dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dinilai tidak efektif dan berpotensi membebani keuangan negara.
Ghofar menjelaskan untuk pembangunan satu unit PLTSa membutuhkan anggaran senilai Rp1,3 triliun. Selain itu, setiap harinya pemerintah daerah harus mengeluarkan biaya operasional pengelolaan sampah atau tipping fee sekitar Rp300 ribu-Rp500 ribu per ton. Listrik yang dihasilkan dari PLTSa tersebut, kata Ghofar, juga cenderung mahal dibandingkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga lainnya, yaitu sekitar 14,5 sen per Kwh. Dengan begitu subsidi yang diberikan negara kepada PLN juga semakin membengkak.
“KPK juga bilang kalau proyek PLTSa ini dilanjutkan di 12 kota sesuai dengan proyek strategis nasional (PSN), itu potensi kerugian negara tinggi, sekitar Rp3,6 triliun per tahun hanya untuk pemberian subsidi ke PLN dan pemberian tipping fee atau biaya operasional dari setiap tahun dari sampah yang dikelola," ungkap Ghofar kepada VOA.
"Belum lagi soal aspek kesehatan lingkungan, di mana pembakaran sampah ini menimbulkan emisi dioksin. Kami tidak melihat itu sebagai prestasi yang patut dibanggakan di forum One Ocean Summit," tambahnya.
Oleh karena itu, menurutnya, pengurangan sumber sampah menjadi suatu hal yang harus digalakkan oleh pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan pelarangan atau pembatasan penggunaan plastik sekali pakai yang saat ini sudah berlaku di 73 kabupaten/kota di DKI Jakarta dan Bali.
Your browser doesn’t support HTML5
Meskipun proporsi sampah plastik di Indonesia hanya sekitar 16 persen dari total keseluruhan sampah di Indonesia, tetapi apabila kebijakan pelarangan atau pembatasan plastik sekali pakai direalisasikan di seluruh pelosok nusantara, ia yakin target pengurangan sampah 70 persen hingga 2025 akan tercapai.
“Sayang sekali kalau hanya berfokus kepada sampah yang eksisting. Itu jadi salah satu solusi iya, tetapi komitmen ke depan kan mengurangi. Kalau timbulan sampah tidak dikurangi, maka sampah yang bocor ke lautan juga banyak. Jadi mata rantai yang seharusnya berurutan, selain fokus ke end of pipe, apa yang ada, tapi juga kurangi dari sumber melalui konsumen, produsen. Sebetulnya itu yang akan mendorong target 70 persen tidak ngawang-ngawang, tapi terealisasi,” jelasnya.
“Untuk plastik adanya peraturan kepala daerah (Perkada) ini relatif bisa membantu mengurangi timbulan sampah plastik yang di lautan. Kan problem utamanya justru sampah plastik yang tidak bisa terurai , lama banget ratusan tahun, lalu pecah jadi mikro plastik, terus dimakan ikan atau satwa laut, dan itu yang menjadi problem,” pungkasnya. [gi/em]