Sejumlah LSM, antara lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Anti Utang (KAU), Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air, dan Solidaritas Perempuan, meminta pemerintah untuk tidak menggunakan skema utang dalam menangani perubahan iklim.
Ketua Koalisi Pemantau dan Advokasi Pendanaan Iklim, Mida Saragih dalam Keterangan persnya di Jakarta menilai dana-dana perubahan iklim yang diperoleh pemerintah Indonesia tidak sesuai dengan skema resmi konvensi PBB untuk perubahan iklim, yang mengharuskan pendanaan tersebut diperoleh dari hibah, bukan utang.
Sampai saat ini, jumlah utang untuk proyek perubahan iklim pemerintah Indonesia mencapai 2,3 milyar dolar Amerika.
Kata Mida, Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan tropis diminta dapat mendesak negara-negara maju yang merupakan penghasil emisi gas rumah kaca yang besar, untuk memberikan bantuan pendanaan bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara hibah.
Meskipun demikian, dana tersebut nantinya harus digunakan secara transparan dan digunakan untuk menyelamatkan lingkungan dan manusia dari dampak perubahan iklim.
“Dana itu haruslah diperuntukan untuk kepentingan dari masyarakat itu sendiri, seperti dana adaptasi. Kita kan masyarakat kepulauan yang rentan dan pemerintah sudah mengakui itu dalam beberapa risetnya. Mereka (pemerintah) harus menghitung masyarakat mana yang paling rentan diprioritaskan untuk segera dibantu,” jelas Mida.
Teguh Surya, Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan di WALHI, mengatakan negara-negara maju harus memberikan pendanaan dan transfer teknologi untuk negara-negara yang memiliki hutan tropis. Teguh menambahkan, Indonesia juga harus terus mendesak negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca mereka minimal sebesar 40 persen.
“Kerusakan hutan di Indonesia, banyaknya danau-danau beracun (merupakan) akibat aktifitas tambang, itu kan diakibatkan oleh investasi mereka (negara maju) dan minta negara Annex 1 (negara maju) untuk benar-benar dan dipastikan memberikan dukungan pendanaan dan mentrasfer teknologi bersih, bukan nuklir dan agrofuel, karena agrofuel akan menghancurkan sisa tutupan hutan yang ada,” kata Teguh.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden untuk perubahan iklim, Agus Purnomo, mengungkapkan Indonesia akan berusaha tidak berhutang untuk melakukan mitigasi dan adaptasi. Menurut Agus, Indonesia saat ini memiliki komitmen serius dalam menangani masalah perubahan iklim.
“Untuk adaptasi, kita sekarang sedang mengumpulkan berbagai informasi yang lebih rinci mengenai dampak-dampak perubahan iklim kalau keadaannya terus memburuk, jadi misalnya kalau ada kenaikan permukaan air laut maka daerah mana saja yang akan menjadi korban, dan kemudian apa yang harus dilakukan. Hutan itu sekarang fokusnya adalah untuk mengurangi emisi dari lahan hutan dan lahan gambut,” ungkap Agus.
Intinya, pemerintah Indonesia akan terus berusaha keras mendesak negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka.